Harga Terpaut Jauh, Penjualan LPG Non-subsidi Mengalami Penurunan Sejak 2019
LPG subsidi atau gas melon tiga kilogram dibanderol Rp 4.250 per kilogram sedangkan untuk elpiji non subsidi dibanderol Rp 17.750 per kilogram.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat penjualan LPG non-subsidi mengalami penurunan dari tahun ke tahun sejak 2019.
Penyebab penjualan LPG non-subsidi turun akibat disparitas harga yang cukup jauh dibandingkan LPG 3 kg yang disubsidi pemerintah.
Saat ini elpiji subsidi atau gas melon tiga kilogram dibanderol Rp 4.250 per kilogram sedangkan untuk elpiji non subsidi dibanderol Rp 17.750 per kilogram.
Baca juga: Kementerian ESDM: Rumah Makan Tidak Boleh Gunakan LPG 3 Kg
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan penyaluran LPG Non-PSO (Public Service Obligation) sebesar 0,66 juta Metrik Ton (MT) di 2019.
“Kemudian 2020 sebesar 0,62 juta MT, 2021 sebesar 0,6 juta MT, dan 2022 sebesar 0,46 juta MT,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (14/6/2023).
Sebaliknya, penjualan LPG subsidi hingga Mei 2023 mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya.
Tutuka menuturkan realisasi penyaluran LPG 3 kg pada 2018 sebesar 6,53 juta MT, kemudian 2019 naik menjadi 6,84 juta MT, 2020 kembali meningkat menjadi 7,14 juta MT.
Adapun realisasi di 2021 sebanyak 7,46 juta MT dan 2022 sebesar 7,8 juta MT.
“Pada 2023 kuota LPG Subsidi meningkat menjadi 8 juta Metrik Ton,” imbuh Tutuka.
Dia menambahkan, pihaknya bersama mitra PT Pertamina melakukan pendataan dan pencocokan data pengguna serta pencatatan transaksi LPG 3 kg dari awal 2023.
Implementasi pendataan di Jawa Bali NTB ditargetkan selesai Juni 2023 yang mencakup 138 kota kabupaten.
“Evaluasi program terus dilaksanakan sejak Maret hingga Desember,” ujar Tutuka.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS Mulyanto menilai shifting masyarakat mengonsumsi elpiji subsidi karena disparitas harga yang tinggi.
Menurutnya, masyarakat akan memilih harga yang lebih ekonomis di tengah ketidakpastian ekonomi.
"Disparitasnya besar daya beli masyarakat rendah sehingga masyarakat pasti pindah," ujar Mulyanto.