Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Pengamat: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Bisa Capai 5,7 Persen Hanya Jika Rusia-Ukraina Berdamai

Dampak langsung perang Rusia-Ukraina terhadap Indonesia itu dapat dilihat dengan mudah kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok

Editor: Dodi Esvandi
zoom-in Pengamat: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Bisa Capai 5,7 Persen Hanya Jika Rusia-Ukraina Berdamai
Kompas.com/Desy Kristi Yanti
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. 

Perkataan Bhima masuk akal. Saat ini, apalagi setelah berkecamuknya perang sejak awal 2022 lalu, dunia dihadapkan dengan tingginya angka inflasi.

Harga-harga melejit lantaran perang Rusia-Ukraina menutup, rantai pasokan berbagai komoditas dan sumber energi.

“Semakin cepat perang Rusia-Ukraina selesai, setidaknya gejolak ekonomi global bisa berkurang meski ada ancaman lain yang harus dihadapi, mulai dari inflasi, tren suku bunga, hingga cuaca ekstrim,” ujar Bhima.

Baca juga: Di Depan Para Menteri, Jokowi Bersyukur Pertumbuhan Ekonomi RI Bertahan di Atas 5 Persen




Seperti diketahui, perang Rusia-Ukraina menyebabkan kebijakan negara-negara cenderung bersifat domesti.
Akibatnya, dunia semakin terfragmentasi, siklus perdagangan antar negara terganggu, dan tren globalisasi berubah menjadi deglobalisasi.

Menurut Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Sosial Universitas Indonesia (LPEM UI), Teuku Riefky, kondisi ini akhirnya berimbas pada penurunan volume perdagangan global sehingga menghambat laju pertumbuhan ekonomi global.

Selain itu, perekonomian global di tahun 2023 masih menghadapi tekanan yang berat, yakni dengan masih belum kembalinya laju inflasi global ke level sebelum pandemi, yang berarti suku bunga acuan global akan tetap tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama.

“Akibatnya, likuiditas global masih yang masih ketat, sehingga biaya juga akan tetap tinggi,” kata Teuku Riefky.

BERITA TERKAIT

Di sisi lain, ruang fiskal di banyak negara semakin terbatas dengan meningkatnya utang akibat pandemi.
Gejolak perbankan di AS dan Eropa juga menambah risiko dan ketidakpastian pasar keuangan global.
Berlanjutnya kondisi tersebut akan membuat perekonomian kian terhimpit, karena potensi arus investasi semakin terhambat.

Baca juga: Survei Algoritma: Masyarakat Puas Pertumbuhan Ekonomi, Elektabilitas Sandiaga Uno Paling Tinggi

Dampak langsung perang Rusia-Ukraina memang mendorong tingginya suku bunga.

Berbagai negara di dunia pun terpaksa menaikkan suku bunga demi menurunkan angka inflasi mereka, termasuk AS yang merupakan kiblat perekonomian dunia.

Ketika Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed) menahan suku bunga acuan pada level 5,0 - 5,25 persen, Bank Indonesia (BI) langsung meresponnya dengan menaikkan suku bunga acuan atau BI-7 Day Reserve Repo Rate menjadi 5,75 persen.

Dampaknya langsung terasa, yakni antara lain suku bunga kredit menjadi tinggi sehingga membuat perusahaan atau industri menunda pinjaman. Akibatnya, ada potensi penurunan di sisi industri.

Beberapa perusahaan yang ingin melakukan ekspansi, khususnya usaha kecil, mungkin harus menunda atau mengurangi operasi perusahaan, yang dapat mengakibatkan berkurangnya waktu lembur atau bahkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan.

Angsuran atau kredit barang, termasuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Indonesia juga naik sehingga membuat keadaan semakin sulit, terutama bagi keluarga yang kurang mampu.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas