Rusia Batal Masuk Blok Tuna, SKK Migas: Ada Belasan Kandidat Pengganti
ada beberapa perusahaan tengah mengantre untuk menggantikan posisi perusahaan Rusia Zarubezhneft yang mundur dari Blok Tuna.
Penulis: Nitis Hawaroh
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Kepala SKK Migas Nanang Abdul Manaf mengatakan, ada beberapa perusahaan tengah mengantre untuk menggantikan posisi perusahaan Rusia Zarubezhneft yang mundur dari Blok Tuna.
Diketahui, perusahaan asal Rusia, Zarubezhneft akan menjual kepemilikan sahamnya di Blok Tuna.
"Penggantinya ada? banyak pihak yang mau, belasan. Jadi yang mengantre menggantikan posisi Zarubezhneft belasan, yang pusing harbour memilih mana yang cocok, perusahaan mana yang cocok," kata Nanang kepada wartawan di Jakarta, Rabu (23/8/2023).
Keputusan tersebut merupakan buntut dari mandeknya pengembangan Blok Tuna akibat sanksi Uni Eropa dan Inggris kepada Premier Oil Tuna BV, anak usaha Harbour Energy Group karena bermitra dengan Rusia.
Sanksi ini merupakan respons invasi Rusia ke Ukraina yang terjadi pada awal tahun lalu.
"Perusahaan-perusahaan yang berasal dari negara barat dari Eropa, United Kingdom, Amerika Serikat itu melakukan sanksi terhadap Rusia. Jadi mohon maaf apapun yang terjadi transaksi tidak dibolehkan sama sekali apalagi berpartner," ucap Nanang.
Di dalam proyek ini, BUMN Rusia Zarubezhneft melalui anak usahanya ZN Asia Ltd mengempit 50 persen hak partisipasi proyek Lapangan Tuna, adapun 50 persen dimiliki oleh Harbour Energy.
"Tadinya ZN sebagai partner 50:50 itu terpaksa harus mundur, karena kalau tidak, tidak bisa jalan lah project ini," ucap dia
Dikatakan Nanang, rencanannya Blok Tuna bakal dijual ke Vietnam. Hal itu dilihat berdasarkan kebutuhan pasar domestik dengan jarak Vietnam lebih dekat.
Baca juga: SKK Migas Gencar Cari Investor, Antisipasi Status Indonesia Jadi Net Importir di 2042
"Kenapa ke Vietnam? karena jarak kalau ditarik ke Indonesia, kebutuhan pasar domestik itu 600 km, tapi kalau ditarik kepada eksisting production facilities yang ada itu hanya kira-kira 20 km. Itu yang menjadi pilihan," ungkap Nanang.
Baca juga: SKK Migas: Pengembangan Lapangan Migas Perlu Dipercepat Untuk Penuhi Kebutuhan Domestik
"Kebetulan kita juga punya bilateral yang bagus dengan Vietnam. G to G dulu nanti diselesaikan baru kita B to B nya. Tapi saya optimistis G to G nggk ada masalah di satu sisi Vietnam butuh gas, kita punya gas, kita supply, tergantung nanti B to B nya harganya cocok," imbuhnya.