Gappri Minta Pemerintah Tinjau Ulang Kenaikan Tarif CHT di 2024: Industri Hasil Tembakau Lagi Injury
GAPPRI menilai alasan Pmerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dengan alasan menurunkan stunting sungguh tidak beralasan.
Penulis: Sanusi
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mengatakan, menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dengan alasan menurunkan stunting tidak beralasan.
“Upaya framing dengan mengkambinghitamkan rokok sebagai penyebab stunting, agar pemerintah menaikkan tarif CHT justru memperbesar dampak negatif seperti semakin maraknya rokok ilegal,” tegas Henry Najoan dalam focus group discussion (FGD) ‘Meneropong Fenomena Stunting dan PTM dalam Bingkai Kebijakan Cukai yang Berkeadilan dan Berkelanjutan’, di Batu, Malang, belum lama ini.
Henry Najoan mengatakan kondisi industri hasil tembakau (IHT) legal saat ini sedang injury. Karena itu, diperlukan relaksasi agar IHT legal dan mata rantai yang berelasi disepanjang industri ini bisa pulih dan bertahan.
Ia juga memohon agar pemerintah untuk mereview kembali kenaikan tarif CHT di tahun 2024 dengan menyesuaikan pertumbuhan ekonomi atau inflasi.
“GAPPRI berharap ke depan, IHT legal mendapatkan jaminan kepastian hukum untuk tetap hidup dan tumbuh sebagaimana diamanahkan dalam Konstitusi kita,” kata Henry Najoan.
Akademisi: Alasan Stunting Tidak Tepat
Di sisi lain, tim peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) mengatakan adanya dugaan penyebab stunting dikarenakan produk hasil tembakau (rokok) dinilai kurang tepat.
Hasil kajian menunjukkan produk hasil tembakau seperti rokok bukanlah faktor utama. Akan tetapi pendidikan, pendapatan, dan kualitas lingkungan masyarakat yang mendorong terjadinya stunting dan penyakit tidak menular (PTM).
Baca juga: Penerimaan Cukai Hasil Tembakau di Jawa Timur II Rp 35,5 Triliun, Paling Besar Disumbang Kediri
Kajian tersebut dilakukan oleh PPKE FEB UB untuk menyikapi pro dan kontra penyebab stunting dan PTM. Riset berbasis data primer dengan melakukan survei pada masyarakat di beberapa daerah, yakni NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Banten, dan Bali.
Direktur PPKE FEB UB Prof Candra Fajri Ananda mengatakan berdasarkan hasil survei dan analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan random forest, faktor dominan penyebab terjadinya PTM di Indonesia adalah pendapatan, makanan dan minuman berpemanis, serta kurangnya konsumsi sayur.
Berdasarkan analisis menggunakan Structural Equation Modelling (SEM) menunjukkan bahwa pendidikan, pendapatan, dan kepemilikan jaminan kesehatan memiliki berpengaruh signifikan dalam menurunkan terjadinya PTM. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa aktivitas fisik dan pola makan minum juga berpengaruh pada PTM di Indonesia.
Baca juga: Cukai Hasil Tembakau Sumbang 13 Persen Penerimaan Negara di 5 Tahun Terakhir
“Hasil kajian kami menunjukan bahwa konsumsi produk hasil tembakau seperti rokok dan lingkungan yang terkontaminasi oleh asap rokok bukan indikator utama penyebab PTM,” kata Prof Candra Fajri Ananda.
Prof. Candra Fajri Ananda mengatakan, temuan riset PPKE FEB UB terkait stunting menunjukkan bahwa tinggi badan orang tua, pendidikan, pendapatan, dan lahir badan cukup bulan berpengaruh signifikan dalam menurunkan balita stunting. Selain itu, pendapatan dan sanitasi juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan balita stunting.
Prof. Candra Fajri Ananda juga menegaskan, temuan penting lain dari kajian PPKE FEB UB menunjukkan bahwa konsumsi rokok orang tua balita, terutama ayah, bukan merupakan faktor utama penyebab terjadinya stunting di Indonesia. Hal ini karena variabel orang tua merokok hanya memiliki kontribusi sebesar 0,7 persen terhadap terjadinya stunting di Indonesia.
Baca juga: Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau Dinilai Penyebab Maraknya Fenomena Downtrading