Ketakutan Besar Terhadap Kenaikan Harga Beras Ketimbang BBM, Rawa Bakal Diubah Jadi Sawah
Ekonomi Senior Chatib Basri menyebutkan, kenaikan harga beras efeknya lebih besar dibandingkan kenaikan harga BBM.
Penulis: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pemerintah diminta agar terus mewaspadai kenaikan harga beras yang terus terjadi akhir-akhir ini.
Ekonomi Senior Chatib Basri menyebutkan, kenaikan harga beras efeknya lebih besar dibandingkan kenaikan harga BBM.
“Beras merupakan komoditas politik. Paling sensitif. Bila harga beras naik, maka efeknya akan lebih besar dirasakan masyarakat,” kata Chatib Basri, Rabu (22/11/2023).
Baca juga: Beras Kualitas Super Naik Jadi Rp16.000 Per Kg, Simak Update Harga Pangan Lainnya Per 21 November
Chatib pun menceritakan saat ia menjabat sebagai Menteri Keuangan, ia merasa paling takut dengan kenaikan harga beras. "Lebih takut dari kenaikan harga bahan bakar minyak," ujarnya.
Menurutnya, imbas melojaknya harga BBM muncul secara tidak langsung. Akan tetapih, kalau harga beras naik, maka efeknya langsung dirasakan oleh masyarakat.
“Ini akan langsung datang efeknya. Jadi, kalau harga beras naik, bukan tidak mungkin maka persentase kemiskinan naik. Karena memang kenaikan harga beras paling sensitif,” ujar Chatib.
Selain itu, saat ini kenaikan harga beras menjadi penyumbang terbesar inflasi di Indonesia sejak Agustus hingga Oktober 2023.
Harga beras melonjak karena pasokan turun, fenomena El Nino jadi penyebab utama kekeringan yang berakibat panen padi berkurang.
Untuk mengantisipasi kenaikan harga beras tersebut, Chatib pun mengimbau pemerintah untuk menjaga suplai dan memberikan bantuan sosial.
Langkah pemerintah untuk memberi tambahan bantuan beras sebesar Rp 2,67 triliun dan bantuan langsung tunai (BLT) El Niño sekitar Rp 7,52 triliun.
Menurutnya, ini akan mengurangi beban masyarakat di tengah masa sulit yang sedang berlangsung.
Impor
Upaya pemerintah memasok beras masyarakat dilakukan dengan melakukan impor.
Tahun ini targetnya impor beras hingga 3,5 juta ton. Sebanyak 2 juta ton di antaranya telah direalisasikan secara bertahap sejak awal tahun.
Baca juga: Target Swasembada Beras pada 2026, Mentan Amran Bakal Ubah 10 Juta Hektare Rawa Jadi Lahan Pertanian
Sedangkan, tambahan kuota 1,5 juta ton di akhir tahun hanya mampu dipenuhi kontraknya sebanyak 1 juta ton.
Sementara sebanyak 500.000 ton kuota impor beras tahun ini gagal dipenuhi Bulog.
Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan produksi beras pada 2023 akan merosot menjadi 30,9 juta ton, dari produksi tahun sebelumnya mencapai 31,54 juta ton.
Hal ini diperberat dengan pemerintah India yang membatalkan ekspor beras untuk mengantisipasi permintaan dalam negeri.
Pemerintah 'Terlalu Pede'
Kritik terhadap pemerintah akibat sulitnya mengimpor beras saat ini.
Krisis pangan bukan terjadi di Indonesia saja, akan tetapi secara global.
Akibatnya Indonesia pun memiliki banyak pesaing dalam mengimpor beras.
Hal ini dinilai akan berdampak pada upaya pemerintah melakukan pemenuhan Cadangan Beras Pemerintah (CBP).
"Pemenuhan CBP akan jauh lebih sulit. Tahun depan adalah masa yang sangat kritis, apalagi pemerintah kasih sinyal mau impor 5 juta ton beras," kata Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira kepada Tribunnews, Senin (20/11/2023).
Adapun sebelumnya diungkapkan Direktur Bisnis Perum Bulog Febby Novita, saat ini Indonesia mengalami kesulitan ketika mengimpor beras.
Hal itu dikarenakan RI harus bersaing dengan Eropa yang juga ikut mengimpor beras karena tengah beralih dari gandum yang sekarang sedang mengalami pembatasan.
"Persaingan impor beras antar negara lain sebenarnya sudah bisa ditebak. Yang butuh beras bukan cuma Indonesia, konsumen di Eropa juga mengkonsumsi beras selain gandum untuk penuhi kebutuhan kalorinya," ujar Bhima.
Ia mengatakan, sejatinya sejak awal 2023, sudah ada tanda-tanda stok CBP menipis, terutama usai India membatasi ekspor beras non-basmati.
Namun, Bhima bilang saat itu pemerintah Indonesia masih overconfidence atau terlalu percaya diri (pede) dengan stok yang ada.
Padahal, faktanya untuk penuhi stok tahun berjalan dan tahun depan agak berat.
"Apalagi efek dari El-nino di berbagai daerah masih jadi ancaman serius bagi panen raya pada kuartal I 2024," kata Bhima.
Ubah Rawa Jadi Sawah
Akibat sulitnya impor beras, pemerintah pun mulai memikirkan untuk menambah persawahan untuk menanam padi.
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menargetkan Indonesia swasembada beras dalam tiga tahun atau pada 2026 mendatang.
Ia mengatakan, target tersebut dapat dicapai dengan mengubah lahan rawa menjadi sawah atau lahan pertanian.
Dia bilang, ada potensi 10 juta hektar lahan rawa yang bisa diubah.
"Lahan rawa kita? Itu potensi kita ada 10 juta hektar, mudah-mudahan bisa kita kejar 1 juta hektar per tahun. Kalau ini dikerjakan hampir pasti insyallah tahun ketiga sudah swasembada," kata Amran.
Pria yang pernah menjabat sebagai Menteri Pertanian di periode pertama Presiden Jokowi itu kemudian membeberkan lini masa dalam mencapai swasembada beras.
Amran mengungkap, setiap tahunnya hingga 2026 memiliki tonggak pencapaian yang berbeda-beda. Contohnya pada tahun pertama, yaitu pada 2024, angka impor akan ditekan.
Lalu, pada tahun kedua produksi sudah membaik, dan pada tahun ketiga Amran berharap RI sudah bisa swasembada beras.
Arman mengaku optimistis bisa mencapai swasembada beras pada 2026. Hal itu karena saat menjabat sebagai Mentan pada 2014-2019, RI pernah berhasil swasembada beras.
"Dulu swasembada kan? Yang kerjakan kita-kita kan? Kita dulu swasembada 2017, 2019, 2020 tiga kali saat Pak Jokowi presiden," ujar Amran. (Tribunnews.com/Kontan/Endrapta/Ismoyo)