Sore Ini Dolar AS Keok, Rupiah Menguat ke Level Rp16.179
Won Korea Selatan menjadi mata uang dengan penguatan terbesar lebih dari 1 persen, peso Filipina menguat 0,3 persen.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai tukar rupiah menguat 0,25 persen ke level Rp 16.179 per dolar AS di penutupan pasar spot, Kamis (18/4/2024).
Mata uang garuda mengakhiri pelemahan perdagangan melawan greenback dibanding penutupan sebelumnya yakni di posisi Rp 16.220 per dolar AS.
Penguatan rupiah hari ini sejalan dengan mayoritas mata uang di kawasan Asia.
Baca juga: Sudah Tembus Rp 16.000, Ini Prediksi Perusahaan Riset soal Nilai Tukar Rupiah
Won Korea Selatan menjadi mata uang dengan penguatan terbesar lebih dari 1 persen, peso Filipina menguat 0,3 persen.
Disusul, ringgit Malaysia menguat 0,3 persen dan dolar Singapura menguat 0,1 persen.
Indeks dolar hari ini Kamis (18/4/2024) bergerak melemah pada level 1804.24.
Pengamat Pasar Uang Lukman Leong menilai rupiah menguat di tengah sentimen risk on di pasar ekuitas dan koreksi profit taking pada dolar AS.
Menurutnya, penguatan mata uang garuda juga dipengaruhi penantian pasar terhadap intervensi bank sentral.
“Rupiah menguat didukung oleh ekspektasi kenaikan suku bunga BI pada pertemuan 24 April mendatang,” tutur Lukman.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menururkan hari ini indeks dolar AS melemah karena para pedagang menilai prospek suku bunga AS setelah komentar dari pejabat Federal Reserve.
Menurutnya, hal ini memperkuat ekspektasi bahwa pengaturan moneter akan tetap ketat untuk jangka waktu yang lebih lama.
“Pasar memperkirakan pemotongan suku bunga The Fed sebesar 44 basis poin tahun ini, jauh lebih rendah dari perkiraan awal tahun sebesar 160 bps, dengan bulan September menjadi titik awal terbaru dari siklus pelonggaran, CME FedWatch Tool menunjukkan,” ucap Ibrahim.
Para pedagang sebelumnya memperkirakan The Fed akan mulai menurunkan suku bunga pada bulan Juni.
Namun serangkaian data termasuk indeks harga konsumen (CPI) dan penolakan dari para bankir bank sentral telah mengubah ekspektasi tersebut.