Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Hanya Bayar BHP Rp2 Miliar Per Tahun, Pemerintah Perlu Evaluasi PNBP Starlink

Luhut menyalahkan operator telekomunikasi nasional tak bisa berkompetisi dengan Starlink pun dinilai kurang bijak.

Penulis: Hendra Gunawan
Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Hanya Bayar BHP Rp2 Miliar Per Tahun, Pemerintah Perlu Evaluasi PNBP Starlink
dok. Starlink
Starlink sebagai layanan internet berbasis satelit menjadi hal yang baru di Tanah Air karena selama ini masyarakat Indonesia dilayani oleh Internet Service Provider (ISP) eksisting berbasis fiber optic dan broadband. 

Kominfo hanya mengenakan BHP Izin Stasiun Radio (ISR) satelit ke Starlink.

Jumlah BHP ISR yang dikenakan Kominfo ke Starlink juga hanya dihitung 1 unit satelit dengan nilai maksimal Rp 2 miliar per tahun.

Padahal satelit Starlink yang memancar di Indonesia lebih dari 200 unit. Sedangkan untuk BHP Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) yang ditanggung operator selular dan dibayarkan ke kas negara tahun 2023 mencapai Rp 21,1 triliun.

Dengan kewenangan yang dimiliki Luhut harusnya kata Agung Starlink dapat dikenakan BHP berdasarkan jumlah satelit yang memancar di Indonesia.

Pandangan Agung ini bukan tanpa dasar. Sebab saat ini operator satelit nasional dikenakan BHP ISR berdasarkan jumlah kepemilikan satelitnya.

Jika operator memiliki 2 satelit, mereka harus membayar BHP ISR sebanyak satelit yang dimiliki. Sehingga perubahan perhitungan BHP ISR Starlink nantinya dinilai Agung dapat meningkatkan PNBP negara dan menciptakan iklim persaingan usaha.

Perubahan metode perhitungan berdasarkan satelit Starlink yang memancar ini mirip pemerintah yang memungut PNBP sektor transportasi udara berdasarkan jumlah pesawat yang melintas di Indonesia.

BERITA TERKAIT

Bukan per perusahaan penerbangan. Jika metode BHP ISR dihitung persatelit yang beroperasi di Indonesia, kontribusi Starlink bagi PNBP sektor telekomunikasi sangat signifikan.

“Jika nantinya mereka menyelenggarakan direct to cell, harusnya pemerintah dapat mengenakan Starlink dengan BHP IPFR layaknya operator selular. Dengan kewenangan yang miliki, saya yakin Luhut mampu membuat regulasi NGSO (Nongeostasioner) yang berkeadilan.

Pembuatan regulasi NGSO ini sejalan dengan visi serta misi Presiden Jokowi dan Luhut yang menginginkan investasi Starlink di Indonesia dapat berkontribusi signifikan bagi pendapatan negara,”ucap Agung.

Selain beban regulasi, permasalahan dalam menyediakan layanan internet di Indonesia yang perlu dilihat Luhut adalah sulitnya akses yang disebabkan mahalnya biaya penggelaran jaringan serat optik.

Agung mengatakan, kondisi geografis Indonesia yang kepulauan dan gunung membuat ongkos penggelaran fiber optik di Indonesia mahal.

“Agar tak ada fiksi dan tumpeng tindih penyediaan jaringan internet di Indonesia, harusnya Luhut menempatkan Starlink sebagai penyedia akses bagi operator telekomunikasi yang hendak menyediakan layanan di daerah yang lokasinya menantang.

Starlink diposisikan sebagai penyedia backbone yang nantinya akan dipakai pengusaha ISP yang belum memiliki fiber optik. Menurut saya ini solusi yang menguntungkan bagi masyarakat maupun industri telekomunikasi,” terang Agung.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas