Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Asia Pacific Harm Reduction Forum 2024 Dukung Cara Ini untuk Turunkan Prevalensi Merokok

Forum yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC) pada awal Juli lalu mengulas tentang pengurangan bahaya dari penggunaan tembakau.

Penulis: Malvyandie Haryadi
Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Asia Pacific Harm Reduction Forum 2024 Dukung Cara Ini untuk Turunkan Prevalensi Merokok
HO
Asia Pacific Harm Reduction Forum (APHRF) 2024 digelar di Jakarta Convention Center (JCC) pada awal Juli lalu mengulas tentang pengurangan bahaya dari penggunaan tembakau. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dukungan terhadap pemanfaatan produk tembakau alternatif untuk menurunkan prevalensi merokok menjadi salah satu isu penting yang dibahas dalam Asia Pacific Harm Reduction Forum (APHRF) 2024.

Forum yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC) pada awal Juli lalu mengulas tentang pengurangan bahaya dari penggunaan tembakau.

Alasan utamanya adalah hasil kajian ilmiah di dalam dan luar negeri yang telah membuktikan produk tembakau alternatif, seperti rokok elektronik (vape), produk tembakau yang dipanaskan, dan kantong nikotin memiliki profil risiko yang lebih rendah ketimbang rokok yang dibakar.

Dalam Sesi I yang membahas tentang riset dan sains, Kolonel Laut (K) Dr. drg. Yun Mukmin Akbar, Sp.Ort., FICD, dari Rumah Sakit TNI AL Dr. Mintohardjo, menjelaskan prevalensi merokok juga menjadi salah satu persoalan di kalangan militer.

Baca juga: Perlu Kolaborasi Pemangku Kepentingan Atasi Masalah Kesehatan Akibat Konsumsi Tembakau

Di Amerika Serikat, sekitar 30 persen personel militer aktif dilaporkan merokok, dengan tingkat paling tinggi pada Angkatan Darat dan Korps Marinir.

Sementara di Inggris, sekitar 25% personel militer merokok, di mana prevalensi lebih tinggi pada anggota yang lebih muda dan pangkat rendah. Adapun di Australia, tingkat merokok sekitar 20% di antara para personel angkatan pertahanan.

“Faktor risiko tingginya prevalensi merokok di dunia militer antara lain lingkungan yang penuh tekanan, lalu pengaruh rekan lainnya, dan penerimaan sosial. Prevalensi merokok lebih tinggi pada usia muda dan pangkat lebih rendah. Tingkat merokok lebih tinggi di kalangan personil laki-laki,” ujar Yun Mukmim dalam paparannya.

Berita Rekomendasi

Untuk menurunkan prevalensi merokok, Yun Mukmin melanjutkan dunia militer sudah mulai menerapkan konsep pengurangan risiko.

Ada empat pilar utama dalam mengimplementasikan konsep tersebut, antara lain kerangka kebijakan, pendanaan dan sumber daya, pelibatan komunitas, serta pelatihan dan edukasi.

Dari empat pilar tersebut dirumuskan menjadi tiga strategi intervensi. Pertama, program berhenti merokok komprehensif dengan memberikan akses konseling dan terapi pengganti nikotin.

Strategi kedua, kebijakan bebas asap rokok di instalasi militer. Terakhir, kampanye pendidikan melalui program sadar risiko kesehatan akibat merokok serta promosi budaya bebas rokok.

“Tidak bisa dipungkiri bahwa merokok sudah menjadi kebiasaan di dunia militer. Untuk mengatasi tingginya angka perokok di dunia militer, yang pertama perlu kita lakukan adalah mengakui bahwa tindakan berisiko seperti merokok sulit untuk dihentikan bagi beberapa perokok aktif, sehingga perlu menerapkan strategi berlapis, dari mulai menggunakan produk yang lebih rendah risiko hingga berhenti total,” ujar Yun Mukmin.

Narasumber lainnya pada diskusi panel yang sama, Prof. Dr. drg. Amaliya, M.Sc., dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, menambahkan pemanfaatan produk tembakau alternatif juga dapat menjadi salah satu strategi untuk menurunkan prevalensi merokok di Indonesia yang sudah mencapai 57 juta jiwa.

Hal itu dibuktikan dengan studi klinis yang dilakukan Universitas Padjadjaran bertajuk ‘Nikotin dan Respon Gusi Pada Pengguna Vape vs Perokok Saat Mengalami Peradangan Gusi Buatan’ yang dipublikasikan pada 2021.

Penelitian ini melibatkan 15 peserta berusia 18-55 tahun yang dibagi ke dalam tiga kriteria dengan distribusi gender tidak merata. Kriteria pertama adalah perokok dengan masa konsumsi rokok minimal satu tahun.

Kriteria kedua adalah pengguna produk tembakau alternatif yang telah beralih dari rokok dengan masa penggunaan minimal satu tahun. Kriteria ketiga adalah bukan perokok.

Selama fase peradangan gusi, peserta diinstruksikan untuk tidak menyikat gigi selama 21 hari. Tujuannya untuk melihat sejauh mana gusi merespons bakteri.

Hasilnya, para pengguna produk tembakau alternatif yang telah beralih dari rokok menunjukkan respons yang baik terhadap akumulasi plak atau infeksi bakteri serupa dengan yang dialami non-perokok.

“Pemerintah perlu bersikap terbuka agar dapat memanfaatkan produk ini untuk menurunkan prevalensi merokok khususnya di kalangan perokok dewasa sehingga terjadi perbaikan kualitas kesehatan. Pemerintah juga perlu melibatkan pemangku kepentingan terkait lainnya untuk berkolaborasi dalam menyebarluaskan hasil temuan ini,” tutup Amaliya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas