Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

10 Tahun Setia Pakai Biogas Kotoran Sapi, Warga Umbulharjo Sleman Bebas dari Ketergantungan Pada LPG

Sudah 10 tahun lamanya keluarga Dewi Astuti membuat biogas dari kotoran sapi untuk menghemat pengeluaran rumah tangga dalam membeli LPG.

Editor: Choirul Arifin
zoom-in 10 Tahun Setia Pakai Biogas Kotoran Sapi, Warga Umbulharjo Sleman Bebas dari Ketergantungan Pada LPG
Tribun Jogja/Ahmad Syarifudin
Naryo Sutrisno, ayah Dewi Astuti, sedang membersihkan kotoran sapi di kandang samping rumahnya di Balong Wetan Umbulharjo, Sleman, Yogyakarta. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebuah keluarga di Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mempelopori penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan.

Sudah 10 tahun lamanya keluarga Dewi Astuti membuat biogas dari kotoran sapi untuk menghemat pengeluaran rumah tangganya. Selama itu pula keluarganya tidak perlu belanja LPG untuk keperluan memasak di rumah.

Penggunaan biogas ini pun mampu menghemat pengeluaran gas elpiji yang setara dengan 2 sampai 3 tabung LPG 3 kg per bulan.

Praktik ini awalnya dilakukan ayah Dewi Astuti, Naryo Sutrisno, dengan memanfaatkan kotoran ternak sapi di samping rumah.

Caranya, kotoran sapi murni yang tidak tercampur sisa makanan disemprot atau dikocor dengan air.

Lalu dimasukkan dalam saluran yang terhubung dengan biodigester, sebuah tempat kedap udara untuk menampung limbah kotoran ternak.

"Luas wadah penampungan ini dua meter persegi. Kedalamannya juga dua meter," tutur Naryo Sutrisno.

BERITA TERKAIT

"Ini dicor semen, semakin dalam semakin bagus," jelas Naryo Sutrisno sambil menunjukkan biodigester di samping rumahnya.

Biodigester berfungsi sebagai tempat terjadinya proses pencernaan Anaerobik Digestion atau fermentasi ruang kedap udara.

Komponen bahan organik yang ditampung di wadah tertutup mengalami proses biokimia sehingga terbentuk biogas. Gas alami ini menjadi sumber energi terbarukan yang diproduksi secara biologis.

Biogas dari dalam biodigester tersebut kemudian disalurkan menggunakan pipa, langsung menuju kompor di dapur Naryo.

Memasak pakai biogas OK
Dewi Astuti memasak menggunakan biogas dari kotoran sapi di kediamannya di Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Kalau mau masak, tinggal buka aliran gas, kompor bisa menyala. Kalau apinya biru, tandanya gas penuh."

"Kalau api berwarna merah berarti gasnya sudah mau habis. Nanti kotoran sapi ditambahkan lagi ke penampungan, gas muncul lagi," ujar pria berusia 66 tahun ini.

Dahulu, sebelum diolah menjadi biogas, kotoran ternak warga Balong Wetan, Umbulharjo, Yogyakarta, ini hanya ditumpuk dan dibuang begitu saja, sehingga berpotensi mencemari perairan dan berbau.

Baca juga: Suzuki Operasian Pabrik Biogas Berbahan Baku Rumput Gajah dan Sisa Makanan di Manesar India

Tetapi pasca erupsi gunung Merapi, lebih kurang sejak tahun 2011 silam, kotoran sapi telah diolah menjadi biogas.

Biogas ini dimanfaatkan untuk kebutuhan memasak setiap hari.

Nyala api dari biogas sendiri tak berbeda jauh dengan kompor elpiji. Padahal gas kompor yang dipakai Dewi Astuti berasal dari biogas hasil pengolahan kotoran sapi.

Penggunaan gas alami ini mampu menghemat pengeluaran, terutama ketergantungan membeli gas tabung elpiji tiga kilogram.

Mengolah biogas OK
Naryo Sutrisno mengolah biogas dari kotoran sapi melalui proses pengadukan dengan air sebelum dimasukkan ke biogester, untuk memproduksi biogas di kediamannya di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman.

"Kalau tidak pakai biogas, biasanya dalam satu bulan membutuhkan gas elpiji 3 kilogram 4 tabung."

"Sekarang, paling hanya beli satu tabung, buat jaga-jaga aja. Harga satu tabung elpiji di sini Rp20 ribu sampai Rp22 ribu. Sebulan kira-kira bisa menghemat Rp 60 ribuan (atau sekitar Rp720 ribu setahun)," kata Dewi.

Sudah lebih dari satu dekade perempuan berusia 42 tahun ini bersama ayahnya, Naryo, menggunakan biogas.

Menurut dia, memasak pakai biogas hampir sama dengan gas elpiji, tidak ada beda. Malah justru pakai biogas memiliki beberapa keuntungan.

Sebab selain lebih menghemat, pengeluaran juga lebih efektif dan cepat. "Karena keluar apinya besar. Jadi kalau buat masak cepat," katanya.

Dewi mengandalkan biogas untuk memasak segala macam kebutuhan, mulai dari menggoreng, masak sayur, hingga masak air.

Dewi Astuti warga Balong Wetan, Umbulharjo, Cangkringan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, sedang memasak menggunakan api biru yang bersumber dari biogas hasil pengolahan kotoran sapi (Tribun Jogja/Ahmad Syarifudin)

Namun pemanfaatan biogas untuk kebutuhan rumah tangga bukan bebas kendala.

Ada beberapa masalah, terutama di level produksi. Pertama, di biaya pembuatan intalasi yang relatif tinggi bagi masyarakat desa,

Hal ini di samping juga kurangnya bahan baku kotoran ternak yang setiap hari harus diolah.

Sementara di sisi konsumsi, sebagian masyarakat kurang tertarik karena bagi warga yang ternaknya sudah dijual, prosedur penggunaan biogas tentu lebih rumit daripada tabung elpiji.

Kendati demikian, Naryo meyakinkan bahwa pemanfaatan biogas jika intalasi sudah terpasang aman, sangat minim risiko.

Ia mencontohkan, dirinya telah menggunakan biogas kotoran sapi lebih dari satu dekade ini. Selama itu pula, ia mengaku jarang sekali menuai kendala.

Jika prosedur produksi dipenuhi, meksipun hanya memiliki dua ekor sapi, nyatanya gas metana mengalir lancar setiap hari. "Lebih dari 10 tahun saya pakai biogas, instalasinya belum pernah ganti. Cuma pernah ganti kompor saja," kata dia.

Baginya, penggunaan biogas memiliki banyak keuntungan.

Selain menghemat pengeluaran tiap bulan untuk membeli gas elpiji, sisa kotoran sapi yang sudah terolah juga bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik.

Pupuk tersebut bisa langsung dimanfaatkan dalam keadaan basah maupun kering. "Sisa kotoran itu saya pakai buat pupuk rumput, tanaman, ternyata tanamannya bagus juga," ucap dia.

Diketahui, praktik baik pemanfaatan biogas untuk memasak bagi warga Kalurahan Umbulharjo, Sleman, Yogyakarta, ini telah dilakukan sejak lama.

Bukan hanya di Padukuhan Balong Wetan, namun juga tersebar di sejumlah padukuhan lainnya.

Kepala Seksi Kesejahteraan (Ulu-ulu) Kalurahan Umbulharjo, Sugeng Sunarto mengungkapkan, pengolahan kotoran sapi menjadi biogas di wilayahnya telah dilakukan oleh warga di beberapa padukuhan.

Selain Balong Wetan, juga dilakukan sebagian warga di Gondang, Plosorejo, Karanggeneng dan Padukuhan Gambretan. Warga memanfaatkan gas alami tersebut untuk kebutuhan memasak di dapur.

Namun belakangan, seiring jumlah ternak berkurang dan intalasi rusak,sebagian warga tidak melanjutkan kegiatan pengolahan ini.

"Dulu banyak, sekarang sudah banyak yang tidak fungsi," katanya.

Laporan reporter Tribun Jogja, Alga 

Sumber: Tribun Jogja
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas