Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Wacana Tarif Tiket KRL Berdasar NIK Dinilai Aneh, Pakar: Mobil Listrik untuk Orang Kaya Disubsidi

Wacana mengubah skema subsidi KRL Jabodetabek berbasis Nomor Induk Kependudukan atau NIK pada tahun depan, tidak tepat.

Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Choirul Arifin
zoom-in Wacana Tarif Tiket KRL Berdasar NIK Dinilai Aneh, Pakar: Mobil Listrik untuk Orang Kaya Disubsidi
Tribunnews/Choirul Arifin
Rangkaian KRL Commuterline di Stasiun Kota, Jakarta, Senin, 26 Agustus 2024. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang menilai wacana mengubah skema subsidi KRL Jabodetabek berbasis Nomor Induk Kependudukan atau NIK pada tahun depan, tidak tepat.

Deddy menekankan, kewajiban pelayanan publik atau public service obligation (PSO) jangan sampai dikurangi. Tarif transportasi umum seharusnya satu harga untuk masyarakat. Sebab, dikhawatirkan akan menimbulkan konflik antar pengguna transportasi umum. Dia mencontohkan, ketika tarif penumpang kereta api dibedakan, maka yang bayar lebih besar merasa pantas untuk duduk.

"Aneh juga ada tarif berdasarkan NIK. Tarif harusnya semua sama tidak ada yang berbeda-beda," ujar Deddy kepada Tribunnews, Jumat (30/8/2024).

Belum lagi, ucap Deddy, kerumitan ketika proses registrasi dan verifikasi penumpang yang subsidi dan non-subsidi berdasarkan NIK. Selain itu, menurutnya, jika subsidi dialihkan ada potensi pengguna transportasi umum berpindah ke kendaraan pribadi.

"Nanti orang yang biasa menggunakan kereta, malah balik lagi naik kendaraan pribadi. PSO kewajiban pemerintah agar tarif angkutan umum murah. Karena otomatis tidak ada macet, tidak ada emisi gas buang, dan angka kecelakaan berkurang," ucap Deddy.

Deddy melihat kebijakan kenaikan harga tiket KRL berdasarkan NIK tidak sesuai. Dia juga membandingkan dengan subsidi mobil listrik.

Berita Rekomendasi

Karena itu, subsidi untuk transportasi umum sebaiknya tidak dikurangi, malah justru seharusnya ditambahkan,

"Beli mobil listrik di subsidi padahal itu untuk orang kaya. PSO itu harus ada, kalau mau tambahin subsidi silakan, misal ada Kartu Transportasi," tambahnya.

Baca juga: Tarif KRL Berbasis NIK Jadi Kontroversi, Kemenhub Bilang Belum Diberlakukan Segera

Saat ini, kata Deddy, juga belum waktunya pemerintah menaikkan tarif KRL. Pelayanan-pelayanannya masih perlu ditingkatkan, seperti waktu tunggu, lalu peremajaan kereta api, sehingga dapat mengurangi kepadatan di kereta api.

Berdasarkan data yang dihimpun, total subsidi nonenergi PSO di 2025 dipagu senilai Rp7,96 triliun, naik 0,9 persen dari outlook Tahun Anggaran 2024 yang berjumlah Rp7,88 triliun.

Baca juga: KCI Kasih Sinyal Akan Naikkan Tarif KRL Jabodetabek, Begini Respon YLKI

Subsidi digunakan untuk PSO transportasi, di mana PT Kereta Api Indonesia (KAI) disubsidi PSO senilai Rp4,79 triliun untuk layanan KA ekonomi jarak jauh, jarak sedang, jarak dekat, KA ekonomi Lebaran, kereta rel diesel (KRD) ekonomi, KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, dan LRT Jabodetabek.

Sedangkan, berdasarkan data Kementerian Perindustrian, pada tahun 2024 insentif kendaraan listrik dialokasikan sebesar Rp9,2 triliun.

Dari jumlah ini, Rp4,9 triliun dialokasikan untuk mobil listrik, Rp4,2 triliun untuk sepeda motor listrik, dan Rp144 miliar untuk bus listrik.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas