GAPPRI: Kewajiban Kemasan Produk Tembakau Dibuat Polos Sama Saja Berikan Karpet Merah Rokok Ilegal
PP 28/2024 sebenarnya tidak mengatur terkait dengan desain dan kemasan polos untuk produk tembakau dan rokok elektrik.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) atas PP Nomor 28 Tahun 2024 sebagai Pelaksana atas UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 disebut akan menerapkan kemasan polos untuk produk tembakau dan rokok elektronik.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menilai peraturan tersebut akan memberi karpet merah kepada rokok ilegal.
"Masalah (kemasan) polos itu akan memberikan karpet merah terhadap rokok ilegal karena masing-masing identitas produk brand tidak akan kelihatan," katanya dalam acara diskusi bertajuk "Wacana Kebijakan Kemasan Polos pada Produk Tembakau" di Jakarta Selatan, Senin (9/9/2024).
"Dengan adanya kemasan polos, itu akan menjadi persaingan tidak sehat, khususnya akan ditunggangi oleh rokok-rokok ilegal," lanjutnya.
Baca juga: Pemerintah akan Larang Pencantuman Logo dan Merek Kemasan Produk Tembakau, Pakar: Rugikan Konsumen
Konsekuensi berikutnya bila mengubah menjadi kemasan polos, industri tembakau akan memerlukan investasi yang besar.
Padahal, saat ini industri tembakau sedang mengalami kontraksi yang sangat berat, sehingga akan menimbulkan beban ekonomi yang cukup tinggi.
"Kami cemas semakin maraknya penjualan rokok-rokok ilegal (akibat kebijakan kemasan polos)," jelas Henry.
Dalam kesempatan sama, Pakar Hukum dari Universitas Trisakti, Ali Ridho, menjelaskan kerugian yang muncul dari sisi konsumen jika kemasan polos pada produk tembakau diterapkan.
Ia menjelaskan, konsumen memiliki hak untuk mengetahui merek-merek dari produk tembakau ini.
"Nah, lebih masuk lagi ke bagian konsumennya. Kalau kemudian itu kemasan itu polos, kita sebagai warga negara itu memiliki hak untuk tahu. Hak untuk memilih," kata Ali.
"Kalau kemudian kemasannya tidak jelas, ini sebenarnya rokok atau permen, disitulah letak hak kita itu tidak terfasilitasi oleh penyelenggara negara karena itu jaminan dari konstitusi," sambungnua.
Ia mengatakan, jika mengacu pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen, itu mewajibkan kepada produsen, kepada semua badan hukum, untuk memberikan informasi sejelas-jelasnya terhadap produk yang dikeluarkan.
Kalau kemudian kemasannya dibuat polos, ia khawatir ada upaya untuk pemaksaan terhadap produsen melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen itu.
"Sebenarnya dari segi produsen itu sudah menghendaki akan taat terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen, tetapi kemudian dibentuk ada regulasi yang arahnya adalah mengabaikan, berarti tindakan pembangkangan terhadap hukum ini kan bukan lahir dari produsennya, tetapi karena memang instrumen negara yang mendorong untuk dilakukannya pelanggaran terhadap produk," pungkas Ali.
Sebagai informasi, PP 28/2024 sebenarnya tidak mengatur terkait dengan desain dan kemasan polos untuk produk tembakau dan rokok elektrik.
Di PP 28/2024, standar soal kemasan diatur dalam Pasal 435 hingga 441.
Namun, dalam draf RPMK atas PP Nomor 28 Tahun 2024 sebagai Pelaksana atas UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, standar desain kemasan produk rokok baik produk konvensional maupun elektronik akan disamakan baik secara warna, desain, maupun font tulisannya.
Pantone 448 C dipilih sebagai warna yang harus digunakan seluruh produsen, di mana pelaku industri tembakau menyebut mereka tidak dilibatkan dalam pemilihan warna ini.