Kemenkes Mulai Sadar Banyak yang Kontra Pengaturan Produk Tembakau dalam RPMK
Ketua Umum GAPPRI Henry Najoan menilai banyaknya penolakan menunjukkan bahwa RPMK ini belum memenuhi harapan masyarakat.
Penulis: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Editor: Hendra Gunawan
Jika nantinya kemasan akan dibuat polos dengan desain yang seragam, rokok ilegal akan semakin mudah disebar di masyarakat karena bisa meniru rokok-rokok legal.
Efeknya, Atfifudin menyebut negara bisa kehilangan pendapatan hingga triliun rupiah.
"Nah itu kan kalau bungkus jadi polos gitu kan, akhirnya ya mereka (penjual rokok ilegal) jadi enak gitu loh untuk bikin bungkus gitu, untuk menyebarkan ke masyarakat gitu loh," ujar Atfifudin.
"Jadi nanti efeknya di situ juga pun pendapatan negara bisa berkurang gitu, bahkan ratusan triliun gitu ya karena kan masyarakat berlari ke produk-produk illegal yang itu enggak setor cukai," lanjutnya.
Kemudian, dampak yang lebih panjang lagi, petani tembakau akan kena imbasnya hingga pabrik produsen rokok bakal banyak yang gulung tikar.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara masal pun tak terhindarkan karena daya serap tenaga kerja para pabrik legal berkurang.
"Yang namanya ekosistem kan satu kesatuan ya. Kalau satu pincang, ya itu akan mempengaruhi ke lini-lini yang lain gitu," ucap Atfifudin.
Henry Najoan menambahkan bahwa standarisasi kemasan bisa menurunkan permintaan karena konsumen kesulitan membedakan merek.
Kondisi ini menguntungkan rokok ilegal dan pemerintah akan kesulitan ketika melakukan pengawasan.
"Petani tembakau dan cengkeh juga akan merasakan dampak langsung dari penurunan permintaan yang membuat harga jual tembakau dan cengkeh anjlok. Petani bisa kesulitan menjual hasil panennya," kata Henry.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyebutkan bahwa kemasan polos tanpa merek dapat membawa risiko signifikan terhadap perekonomian.
Ia menyebutkan bahwa aturan kemasan polos tanpa merek dapat mendorong fenomena downtrading hingga switching dari rokok legal ke rokok ilegal, yang dapat mengurangi permintaan produk legal hingga 42,09 persen.
"Penurunan ini bisa menyebabkan potensi dampak ekonomi yang hilang sebesar Rp182,2 triliun, dan penerimaan perpajakan yang turun hingga Rp95,6 triliun," ujar Tauhid.