Aturan Kemasan Polos Dinilai Bakal Berpengaruh ke Pemerintahan Baru, Ini Alasannya
Andry juga menyoroti aturan zonasi larangan penjualan rokok radius 200 meter dari satuan pendidikan yang masih rancu.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, memaparkan kalkulasi potensi dampak ekonomi yang hilang dari tiga skenario kebijakan terkait industri tembakau pada PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes.
Dirinya menilai melalui aturan ini tidak ada lagi pemisahan rokok lain.
"Rokok ilegal gampang ditiru, tinggal font-nya diubah-ubah. Saya kalau misalnya jadi pelaku industri yang ilegal begini, saya tinggal buat merek yang dijajarkan dengan aslinya, bedanya apa sekarang? Sedangkan penerimaan negara bisa loss juga di sana,” ujar Andry.
Hal tersebut diungkapkan oleh Andry dalam diskusi Hotroom “Aturan Baru Tembakau, Bikin Kacau?”.
Selain itu, Andry juga menyoroti aturan zonasi larangan penjualan rokok radius 200 meter dari satuan pendidikan yang masih rancu.
Hal ini dikarenakan tidak disebutkan dengan jelas tempat pendidikan seperti apa yang dimaksud.
Selain itu, pembatasan penjualan di tempat bermain anak juga dinilai tidak masuk akal jika diimplementasikan dan justru menimbulkan ketidakpastian usaha karena pungutan liar di lapangan.
“Ini yang perlu diluruskan kembali, mau diletakkan di satuan pendidikan mana? Karena masih belum jelas. Dampaknya ya memunculkan rokok ilegal yang akan masuk dan mudah dibeli ketengan,” ungkapnya.
Andry juga menjelaskan dampak yang dapat terjadi jika aturan ini diberlakukan pada masa Pemerintahan Prabowo-Gibran.
Ia mengingatkan kembali potensi kehilangan negara yang terjadi dapat mencapai lebih dari Rp200 triliun, terutama dari hilangnya penerimaan cukai hasil tembakau.
Potensi kehilangan ini juga akan menghambat target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen yang direncanakan pemerintahan baru kelak.
“Rp308 triliun itu dampak ekonomi secara general, kalau Rp160 triliun itu dari penerimaan cukai hasil tembakau saja. Sebaiknya ini diajak berunding dulu, karena jangankan asosiasi, kementerian lain saja nggak diajak (berdiskusi bersama Kemenkes). Kita ini negara hukum, ya semestinya harus sesuai dengan hukumnya,” pungkasnya.