Ramson Siagian Tegas Menolak Usulan Cetak Uang
Awal Januari 2020 masyarakat dan para pemimpin dunia tertegun melihat muncul dan berkembangnya virus corona di Wuhan, China. Ada yang memberikan simpa
Editor: Content Writer
Dalam proses rapat rapat virtual tersebut, memang timbul berbagai kekhwatiran akan kelanjutan ekonomi nasional. Ada anggota Komisi XI DPR RI dengan berbagai argumentasi yang mendesak agar BI melakukan Quantitative Easing (QE) dengan mencetak uang untuk masuk membeli Surat Utang Negara dipasar primer.
Di publik juga ada anggota Komisi XI DPR RI dengan mengemukakan perlu segera mencetak uang, ada yang menyebut Rp 600 Triliun. Ada yang mengikuti opini publik yang disampaikan salah satu pimpinan Kadin agar BI melakukan Quantitative Easing dengan mencetak uang sekitar Rp 1.600 Triliun.
Tapi perlu dijelaskan bahwa dalam perdebatan perdebatan di rapat rapat virtual antara Komisi XI DPR RI dengan Menkeu, Gubernur BI dan OJK tidak semua Anggota Komisi XI DPR RI mendukung upaya mencetak uang ataupun menyebut Quantitative Easing dengan mencetak uang ratusan bahkan ribuan triliunan untuk keperluan stimulus dampak ekonomi covid-19.
Saya termasuk yang tegas menolak usulan mencetak uang tersebut, dan memang berkembang argumentasi oleh anggota Komisi XI tertentu seakan akan kalau “Quantitative Easing” harus melakukan mencetak uang besar besaran.
Inti dari proses perdebatan di rapat rapat virtual Komisi XI DPR RI sebagai proses demokrasi sampai hari ini belum pernah ada rekomendasi resmi kepada Bank Indonesia agar melakukan Quantitative Easing dengan mencetak uang. Biarpun tentu ada anggota Komisi XI DPR membentuk opini publik mendesak BI melakukan cetak uang. Ini seakan-akan DPR RI Komisi XI mengusulkan BI melakukan cetak uang.
Jelas, hingga hari ini belum pernah ada kesimpulan rapat rapat virtual Komisi XI DPR RI dengan Menteri Keuangan, Gubernur BI dan OJK yang mengusulkan cetak uang kepada Gubernur BI. Proses ini perlu diperjelas karena belakangan ini Dr Rizal Ramli dan beberapa ekonom serta pengamat menyampaikan persepsi di publik seakan akan DPR RI Komisi XI membuat kesimpulan mengusulkan cetak uang kepada Gubernur Bank Indonesia.
Dan itulah antara lain sebabnya saya menuliskan artikel ini biarpun sudah lama saya mengurangi bicara di publik terkecuali pada rapat rapat di DPR RI.
Realitas
Sebenarnya sebelum munculnya covid-19 untuk merespons perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan domestik, dan antara lain atas desakan anggota anggota Komisi XI DPR RI pada rapat rapat dengan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan OJK pada bulan November dan Desember 2019, telah berjalan kombinasi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
Bank Indonesia melakukan jalur transmisi penurunan acuan suku bunga secara bertahap dan cukup siknifikan yang pelaksanaan di perbankan didukung oleh OJK. Dari sisi kebijakan fiskal usulan agar Menteri Keuangan bertahap menurunkan tarif pajak penghasilan dan kemudahan perpajakan.
Kombinasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal tersebut sangat diperlukan untuk merespons potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan domestik pada akhir 2019. Ini antara lain untuk mendorong peningkatan konsumsi masyarakat ataupun domestic consumption di waktu berikutnya dan di satu sisi mendorong penguatan dari sisi supply.
Tujuannya, agar produk produk dalam negeri bisa harganya lebih kompetitif dengan menurunnya cost of money. Sehingga ini bisa meningkatkan kemampuan bersaing di pasar domestik dan pasar global (export).
Karena terlalu mengandalkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan atau Bansos untuk menjaga pertumbuhan konsumsi domestik akan berdampak peningkatan belanja negara yang terlalu besar dan berpotensi melebarkan defisit fiskal. Sehingga untuk akhir 2019 kombinasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal tersebut sebagai upaya yang tepat dan akan efektif untuk menahan potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi di tahun berikutnya agar tetap bisa menjaga pertumbuhan ekonomi sekitar diatas 5%.
Kembali merespons dampak ekonomi covid-19, sejak awal Maret 2020 anatomi perekonomian nasional bergeser cepat, dengan bertambahnya belanja negara antara lain peningkatan stimulus dampak covid-19 dan di satu sisi potensi berkurangnya penerimaan negara secara signifikan.