Sengketa Pilpres Mau Dibawa ke Mahkamah Internasional? Ini Pendapat Ahli Hukum Internasional London
Gagasan ini dilontarkan oleh mantan penasehat KPK yang juga kordinator lapangan Gerakan Nasional Kedalatan Rakyat, Abdullah Hehamahua.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak permohonan pihak Prabowo Subianto dalam sengketa Pemilihan Presiden 2019.
Sesudah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak permohonan pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terkait gugatan hasil Pilpres 2019, salah satu wacana yang berkembang adalah membawa perkara ini ke Mahkamah Internasional.
Gagasan ini dilontarkan oleh mantan penasehat KPK yang juga kordinator lapangan Gerakan Nasional Kedalatan Rakyat, Abdullah Hehamahua.
Sebagaimana dikutip dari berbagai media, Hehamahua menyatakan bahwa pihaknya akan melaporkan sistem penghitungan atau Sistem Informasi Penghitungan Suara Komisi Pemilihan Umum (Situng KPU) ke Mahakamah Internastional.
Baca: Jawaban Yusril Ditanya Wacana Kasus Pilpres 2019 Dibawa ke Pengadilan Internasional
Hehamahua menyatakan pelaporan ini dilakukan karena Mahkamah Internasional bisa melakukan audit forensik terhadap IT KPU untuk melihat bagaimana kecurangan-kecurangan Situng.
Mahkamah Internasional
BBC News Indonesia bertanya kepada ahli hukum internasional di Chatham House, London, Agantaranansa Juanda, mengenai kemungkinan sengketa pemilu dibawa ke Mahkamah Internasional.
Menurut Agantaranansa, yang biasa dipanggil Agan, jika yang dimaksud Mahkamah Internasional atau International Court of Justice atau ICJ, maka hal itu tak bisa dilakukan.
Ini disebabkan karena ICJ hanya punya dua yuridiksi atau kewenangan hukum.
Baca: Waketum PAN: Luka di Masyarakat Harus Disembuhkan Setelah Pilpres
Pertama, untuk memutus sengketa antarnegara, dengan kata lain pemohon harus bertindak atas pemerintah suata negara, dan kedua nasihat hukum terhadap organisasi internasional atau organ-organ PBB.
Pemilu adalah urusan internal satu negara dan tidak bersifat lintas batas sehingga tidak bisa dibawa ke mahkamah internasional.
"Sifat sengketa itu harus lintas negara atau cross border, seperti misalnya sengketa Sipadan-Ligitan karena terkait klaim teritori sah antara Indonesia dengan Malaysia. Sengketa pemilu itu masalah internal satu negara, maka tidak bisa dibawa ke ICJ," kata Agan.
Mahkamah yang bersidang di Den Haag, Belanda ini beranggotakan 15 hakim yang menjabat selama sembilan tahun dan dipilih oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB.