Babak Baru Politik Amerika: DPR Makzulkan Trump di Penghujung Tahun
Tahun ini menjadi momentum bersejarah bagi DPR Amerika Serikat (AS), saat mereka mengesahkan pasal pemakzulan
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tahun ini menjadi momentum bersejarah bagi DPR Amerika Serikat (AS), saat mereka mengesahkan pasal pemakzulan terhadap Presiden Donald Trump.
Trump menjadi presiden ketiga yang dimakzulkan dalam sejarah Amerika Serikat.
Dalam sidang paripurna pada Rabu (18/12/2019) lalu, DPR AS menyetujui dua pasal pemakzulan terhadap presiden 73 tahun itu.
Dua pasal yang dikenakan kepada Donald Trump adalah penyalahgunaan kekuasaan dan menghalangi penyelidikan kongres.
Trump dimakzulkan karena diduga telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
Presiden AS itu dianggap menggunakan kekuatan pemerintahannya untuk menekan Ukraina mengumumkan hasil penyelidikan yang dapat mendiskreditkan lawan politiknya.
Penyalahgunaan ini terkait dengan permintaan Trump terhadap pemerintah Ukraina untuk menyelidiki calon pesaingnya Joe Biden dalam Pilpres AS tahun 2020.
Gedung putih telah merilis transkrip pembicaraan telepon antara Trump dengan Presiden Ukraina Zelensky pada 25 Juli lalu.
Isinya mengonfimasi permintaan bantuan dari pihak Trump kepada pihak Zelensky. Kasus ini semakin berkembang setelah seorang pengacara mengklaim bahwa ada informan kedua yang muncul.
Keberadaan informan yang mengklaim bahwa mereka memiliki informasi langsung tentang panggilan Trump dengan Presiden Ukraina dinilai bakal mempersulit pihak presiden untuk menyangkal kebenaran laporan ini.
Trump Sempat Kirim Surat ke Ketua DPR AS
Menjelang malam pemakzulan, Presiden Donald Trump mengirim surat kepada Ketua DPR AS, Nancy Pelosi.
Dalam surat tersebut, Trump menuduh ketua DPR AS "mengumumkan perang terhadap demokrasi."
Ia mengklaim telah "dicabut dari proses dasar Konstitusi AS melalui pemakzulannya."
Dalam surat enam halaman itu, Trump mengritik proses pemakzulan dan Pelosi.
Selain itu, Komisi Yudisial AS sempat mengundang Trump dan kuasa hukumnya untuk menghadiri sidang.
Komisi Yudisial mempersilakan tim presiden untuk membeberkan bukti ataupun mempertanyakan proses sidang. Namun, undangan tersebut justru ditolak.
Namun upaya Trump itu tak buahkan hasil. Sidang pemakzulan Trump tetap dilakukan pada Rabu (18/12/2019) malam, atas dua pasal, yaitu penyalahgunaan kekuasaan dan menghalangi penyelidikan.
Sidang tersebut dipimpin oleh Nancy Pelosi.
Ia merupakan orang yang meloloskan pemakzulan Trump di voting sebelumnya.
Hasil voting menunjukkan bahwa 230 orang setuju dengan pemakzulan dan 197 tidak setuju dengan pasal penyalahgunaan kekuasaan.
Respons Trump dan Gedung Putih
Atas keputusan yang ditetapkan oleh DPR AS, Donald Trump meresponsnya dengan kemarahan melalui akun twitter-nya.
Dengan menggunakan huruf kapital, Trump berkata jika pemakzulan yang dilakukan kepada dirinya adalah sebuah bentuk serangan kepada Amerika dan Partai Republik.
Postingan ini diunggah pada Kamis (19/12/2019) lalu.
Gedung Putih pun menyatakan, mereka yakin Senat akan membebaskan Presiden Donald Trump dari tuduhan pemakzulan.
"Hari ini (Rabu) jadi peringatan salah satu episode politik memalukan dalam sejarah negara ini," terang Sekretaris Pers Gedung Putih, Stephanie Grisham.
Dilansir Reuters Kamis 919/12/2019), Grisham menuding Demokrat sudah memajukkan proses pemakzulan tanpa bisa menunjukkan bukti kesalahannya.
Grisham menjelaskan, Trump yakin Senat bakal menggelar sidang yang adil, dan sesuatu aturan yang berlaku.
"Beliau bersiap untuk tahap selanjutnya, dan yakin bakal dibebaskan dari tuduhan ini," terang Grisham dalam konferensi pers.
Selanjutnya, Trump bakal menjalani sidang di level Senat pada Januari 2020, di mana mayoritas berasal dari partainya, Republik.
Pemimpin Mayoritas Mitch McConnell sudah menegaskan, sidang tersebut bakal menjadi prioritas utama mereka, dan berkoordinasi dengan Gedung Putih.
DPR AS Sempat Tolak Usulan Pemakzulan Trump
Pada Rabu (17/7/2019), DPR AS menolak resolusi untuk memulai proses pemakzulan terhadap Presiden Donald Trump.
Artikel pemakzulan yang diajukan oleh Al Green, anggota DPR dari Texas, ditolak oleh 332 anggota dewan, termasuk 137 koleganya dari Partai Demokrat yang merupakan oposisi pemerintahan Trump. Demikian dilaporkan The New York Times, Rabu (17/7/2019) lalu.
Meski ditolak, tercatat sebanyak 95 anggota dewan atau hampir separuh kaukus Partai Demokrat mendukung resolusi ini. Angka ini jauh lebih tinggi dari perkiraan.
Adapun artikel pemakzulan itu diluncurkan dengan dasar bahwa Trump tidak layak memangku posisi presiden karena telah menimbulkan kekacauan terhadap kehidupan bermasyarakat warga AS.
Upaya pemakzulan ini adalah yang pertama sejak Partai Demokrat mengambil alih mayoritas di Kongres pada Januari tahun ini setelah unggul dalam pemilu sela pada November 2018.
Trump menyambut baik hasil pemungutan suara di DPR itu.
"Jelas ini hasil yang sangat mutlak menentang pemakzulan. Ini akhir dari pemakzulan. Mari Partai Demokrat, kita kembali bekerja," ucap Trump kepada wartawan di Greenville, Carolina Utara.
Presiden berusia 73 tahun itu juga sempat memicu kontroversi beberapa waktu lalu, setelah mengkritik secara tidak langsung keempat perempuan anggota DPR dari minoritas, dalam rangkaian twitnya.
Keempat perempuan yang dimaksud adalah Alexandria Ocasio-Cortez, Rashida Tlaib, Ilhan Omar, dan Ayanna Pressley yang masing-masing berasal dari komunitas Hispanik, Arab, Somalia, dan Afro-Amerika.
Trump menuduh Omar bersimpati terhadap warga AS yang bergabung dengan ISIS.
Dia juga mengolok-olok Cortez dengan menyebut dia tidak punya waktu mengucapkan namanya yang terlalu panjang.
Pendukung Trump terus meneriakkan slogan, "Kirim dia pulang" yang merujuk kepada Omar yang lahir di Somalia sebelum berimigrasi ke AS.
"Mereka tidak mencintai negara ini. Saya rasa mereka membenci negara kita. Jika mereka tidak suka, mereka dapat meninggalkan AS," kata Trump saat kampanye akbar untuk Pilpres 2020.
Trump mengecam keempat perempuan itu tidak mewakili nilai-nilai Amerika dan juga menyebut Partai Demokrat sebagai partai radikal kiri yang berbahaya dan tidak dapat dikendalikan.
Para pemimpin Partai Demokrat telah secara bulat mengecam komentar Trump dan mendukung keempat perempuan anggota kongres itu. Namun, bersikap hati-hati terhadap pemakzulan.
Ketua DPR AS Nancy Pelosi dari awal menolak pemakzulan terhadap Trump tanpa dasar pelanggaran hukum yang kuat serta dukungan bipartisan dari DPR dan Senat AS.
Pelosi sendiri telah berupaya menyeimbangan kepentingan di partainya antara kubu progresif yang gencar menyerukan Trump dimakzulkan serta kubu moderat yang lebih fokus terhadap isu-isu kebijakan yang menyangkut kehidupan sehari-hari konstituen.
"Enam Komisi DPR sedang bekerja menginvestigasi kemungkinan pelanggaran hukum dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Presiden Trump, termasuk intervensi Rusia di pilpres 2016," tutur Pelosi.
Ketua DPR Nancy Pelosi dari awal menolak pemakzulan terhadap Trump tanpa dasar pelanggaran hukum yang kuat serta dukungan bipartisan dari DPR dan Senat AS.
Pelosi sendiri telah berupaya menyeimbangan kepentingan di partainya antara kubu progresif yang gencar menyerukan Trump dimakzulkan serta kubu moderat yang lebih fokus terhadap isu-isu kebijakan yang menyangkut kehidupan sehari-hari konstituen.
“Enam Komisi DPR sedang bekerja menginvestigasi kemungkinan pelanggaran hukum dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Presiden Trump, termasuk intervensi Rusia di pilpres 2016,” tutur Pelosi.