Ahli: Pembunuhan Ilmuwan Nuklir Iran Tak Akan Gagalkan Program Nuklir
Ahli mengatakan, meski ada kebijakan tekanan maksimun dari Presiden Donald Trump, pembunuhan ilmuwan senior Iran tak akan menggagalkan program nuklir
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Tiara Shelavie
Pembunuhan Ilmuwan Nuklir Iran Dikhawatirkan Picu Pembalasan Iran
Mantan pejabat AS dan diplomat Eropa khawatir bahwa pembunuhan itu dapat memicu pembalasan oleh Iran.
Tak hanya itu saja, para ahli khawatir pembunuhan ilmuwan nuklir Iran juga merusak rencana Presiden terpilih AS Joe Biden untuk menghidupkan kembali diplomasi dengan Teheran.
Mereka mengatakan, pembunuhan ilmuwan nuklir tampaknya merupakan upaya untuk melemahkan presiden berikutnya.
Biden telah berjanji untuk mengembalikan Amerika Serikat ke perjanjian nuklir 2015, yang dikenal sebagai JCPOA.
Perjanjian nuklir tersebut memberlakukan batasan ketat pada pekerjaan nuklir Iran dengan imbalan pelonggaran sanksi ekonomi.
Sebelumnya, Trump menarik Amerika Serikat dari kesepakatan multinasional pada 2018 lalu.
Sejak itu, Iran semakin melanggar ketentuan perjanjian, melampaui batas pengayaan uranium dan sentrifugal.
Baca juga: Iran Mulai Prosesi Pemakaman Ilmuwan Nuklir yang Terbunuh
Dilema yang Dihadap Iran
Setelah pembunuhan Mohsen Fakhrizadeh, ditambah dengan dugaan sabotase lokasi perakitan sentrifuse di Natanz dan pembunuhan jenderal tinggi Qassem Soleimani, Iran menghadapi dilema.
Jika memilih untuk tidak membalas dengan tetap membuka pintu diplomasi, Iran akan terlihat lemah dan mengundang lebih banyak serangan rahasia.
Tetapi jika Iran membalas dendam pada target Israel atau AS, Teheran bisa kehilangan kesempatan terbaiknya untuk mencabut sanksi yang telah membuat ekonominya berantakan.
Pembalasan Iran "berisiko memicu reaksi berantai," ungkap Robert Malley, mantan pejabat senior di Gedung Putih Obama yang membantu merundingkan kesepakatan Iran.
"Israel dapat memilih untuk menanggapi dengan cara yang sama dan langkah semacam itu dapat semakin memperumit kembalinya AS ke perjanjian nuklir," tulis Malley, presiden lembaga pemikir International Crisis Group, baru-baru ini di Foreign Policy.