Ribuan Orang di Myanmar Hadiri Pemakaman Demonstran yang Tewas Ditembak di Kepala
Dia ditembak di kepala pada 9 Februari lalu, saat berdemonstrasi menentang kudeta militer yang merampas kekuasaan sipil dari Aung San Suu Kyi, di ibuk
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, NAYPYITAW — Kerumunan besar warga di ibu kota Myanmar menghadiri pemakaman seorang demonstran perempuan muda, yang menjadi korban meninggal pertama dalam aksi demonstrasi menentang kudeta militer, Minggu (21/2/2021).
Reuters melaporkan Senin (22/2/2021), ribuan warga menghadiri pemakaman Mya Thwate Thwate Khaing, yang menjadi korban tewas pertama dari setidaknya tiga orang yang tewas dalam aksi protes dan pembangkangan sipil di Myanmar.
Dia ditembak di kepala pada 9 Februari lalu, saat berdemonstrasi menentang kudeta militer yang merampas kekuasaan sipil dari Aung San Suu Kyi, di ibukota Naypyitaw.
BBC melaporkan peti jenasahnya yang berwarna hitam dan emas, dibawa melalui jalan-jalan di atas mobil jenazah, dan dikawal oleh ratusan sepeda motor.
Media militer mengatakan peluru yang membunuhnya tidak berasal dari senjata yang digunakan oleh polisi dan karenanya pasti ditembakkan oleh "senjata eksternal".
Militer mengatakan satu polisi telah meninggal karena luka-luka yang diderita dalam protes tersebut.
Militer merebut kekuasaan setelah dugaan kecurangan dalam pemilu 8 November lalu yang dimemangkan mutlak oleh NLD. Militer juga menahan Suu Kyi dan tokoh sipil lainnya.
Komisi pemilihan umum menolak tudingan kecurangan yang dilontarkan militer.
Mya Thwate Thwate Khaing (20) meninggal pada Jumat (19/2/2021), ketika dalam perawatan intensif di sebuah rumah sakit di ibukota Naypyitaw, di mana ia telah dirawat selama 10 hari sejak ditembak oleh polisi yaang bersikap represif terhadap demonstran.
Kabar meninggalnya Mya Thwate Thwate Khaing telah membangkitkan kemarahan di seluruh negeri, menambah kemarahan atas penggulingan pemerintahan sipil yang sah oleh militer terhadap Aung San Suu Kyi, tiga bulan setelah partainya memenangkan pemilu kedua.
"Saya merasa sangat sedih mendengar kabarnya. Saya lebih bertekad untuk terus turun ke jalan," kata Nay Lin Htet yang berusia 24 tahun saat berunjuk rasa di pusat kota Yangon.
"Saya merasa bangga padanya dan saya akan turun ke jalanan sampai kami mencapai tujuan kami untuknya. Saya tidak peduli terhadap keamanan saya."
Banyak anggota gerakan anti-kudeta yang telah bersatu selama dua minggu di seluruh Myanmar adalah Generasi Z yang sama dengan Mya Thwate Thwate Khaing, seorang pekerja toko kelontong yang masih remaja ketika dia ditembak, dan berusia 20 saat dalam perawatan intensif.
Baca juga: Junta Militer Myanmar Ancam Demonstran akan Kehilangan Nyawa jika Teruskan Aksi Mogok Nasional
Penembakan itu memicu kenangan tentang penindasan berdarah terhadap demonstrasi setengah abad lalu juga oleh pemerintahan militer yang brutal, di mana ribuan orang tewas dan banyak lagi dijebloskan ke penjara selama bertahun-tahun.