Eksekusi Mati Digelar Dadakan, Terpidana Mati di Jepang Gugat Pemerintah: Tidak Manusiawi
Dua terpidana mati di Jepang menggugat pemerintah lantaran waktu eksekusi diinformasikan hanya beberapa jam sebelum pelaksanaan.
Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Miftah
TRIBUNNEWS.COM - Dua terpidana mati di Jepang menggugat pemerintah lantaran waktu eksekusi diinformasikan hanya beberapa jam sebelum pelaksanaan.
Dilansir Reuters, dua orang ini menuntut adanya perubahan sekaligus meminta kompensasi atas tindakan "tidak manusiawi" itu.
Hal ini dijelaskan kuasa hukum terpidana mati tersebut, pada Jumat (5/11/2021).
Diketahui, Jepang mengeksekusi mati tahanan dengan cara digantung.
Namun pihak penjara atau yang terkait tidak memberi tahu terpidana mati terkait waktu eksekusi mereka.
Biasanya napi akan diberi informasi hanya beberapa saat sebelum mereka dihukum mati.
Baca juga: Komnas HAM Harap Jokowi Kabulkan Grasi Untuk Terpidana Mati Merry Utami
Baca juga: Apa Ancaman Hukuman bagi Pelaku Penganiaya Hewan? Ini Penjelasan Ahli Hukum
Praktik semacam ini sebenarnya telah lama menuai kecaman organisasi hak asasi manusia internasional.
Hal ini dinilai tidak manusiawi karena tekanan yang diberikan kepada tahanan, yang setiap hari menunggu hari terakhir mereka.
Pada Kamis (4/11/2021), dua terpidana mati mengajukan gugatan terkait hal ini di pengadilan distrik di Osaka.
Mereka menilai praktik ini ilegal karena tidak memberikan waktu kepada para tahanan untuk mengajukan keberatan.
Mereka juga meminta perubahan terkait hal itu dan menuntut kompensasi sebesar 22 juta yen, jelas pengacara Yutaka Ueda.
"Terpidana mati hidup dalam ketakutan setiap pagi bahwa hari itu akan menjadi hari terakhir mereka."
"Ini sangat tidak manusiawi," kata Ueda.
"Jepang benar-benar berada di belakang komunitas internasional dalam hal ini," tambahnya.
Amerika Serikat dan Jepang adalah satu-satunya negara demokrasi industri yang masih menerapkan hukuman mati, dan kelompok hak asasi manusia seperti Amnesty International telah menuntut perubahan selama beberapa dekade.
Ueda mengatakan, tidak ada undang-undang yang mengamanatkan bahwa narapidana hanya dapat diberitahu tentang eksekusi mereka beberapa jam sebelum itu terjadi.
Menurutnya, praktik ini sebenarnya bertentangan dengan hukum pidana Jepang.
"Pemerintah pusat telah mengatakan ini dimaksudkan untuk menjaga tahanan dari penderitaan sebelum eksekusi mereka, tapi itu bukan penjelasan dan masalah besar, dan kita benar-benar perlu melihat bagaimana mereka menanggapi gugatan itu," tambahnya.
"Di luar negeri, para tahanan diberikan waktu untuk merenungkan akhir hidup mereka dan mempersiapkan mental. Seolah-olah Jepang berusaha sekeras mungkin untuk tidak memberi tahu siapa pun."
Baca juga: Rencana Jaksa Agung Beri Hukuman Mati bagi Koruptor, Pengamat: Lebih Tepat Pelaku Dimiskinkan
Baca juga: Jaksa Agung ST Burhanuddin Diminta Waspadai Serangan Balik Koruptor dan Kaki Tangannya
Saat ini ada 112 narapidana yang dijatuhi hukuman mati di Jepang, kata Kementerian Kehakiman.
Namun belum ada yang dieksekusi selama hampir dua tahun.
Jajak pendapat menunjukkan sebagian besar publik mendukung hukuman mati, yang biasanya dikenakan kepada pelaku pembunuhan.
Ueda berharap gugatan itu bisa memicu diskusi di Jepang tentang masalah ini, meskipun ini bukan tujuan utamanya.
"Sistem ini sangat keliru - dan kami ingin publik mengalihkan pandangan mereka ke masalah ini," tambahnya.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)