Ketegangan di China, Taiwan Lipatgandakan Produksi Rudal
Negeri Chiang Kai Sek ini terus meningkatkan kekuatan tempur di tengah apa yang dilihatnya sebagai ancaman militer yang meningkat dari China daratan.
Editor: Hendra Gunawan
Laporan-laporan yang belum dikukuhkan menyebutkan Beijing sejatinya tahu situasi sebenarnya dan sengaja menutup mata.
Berdasarkan laporan New York Times dengan mengutip pejabat-pejabat AS yang namanya tak disebutkan, selama berbulan-bulan terakhir, AS berkali-kali mendesak China untuk turun tangan dan meminta Rusia untuk tidak menyerbu Ukraina.
Namun, laporan itu menambahkan para pejabat AS itu kemudian mengetahui bahwa Beijing memberitahu Moskwa tentang informasi tersebut dengan mengatakan AS berusaha menciptakan perpecahan dan bahwa China tidak akan berusaha menghalang-halangi rencana Rusia.
Menyamakan dengan Taiwan Bagi Partai Komunis, apa yang paling membuat khawatir partai berkuasa di China itu adalah bagaimana sikap rakyatnya dan bagaimana pandangan mereka terhadap dunia.
Untuk mengatasi hal itu, Partai Komunis melakukan manipulasi dan mengendalikan perdebatan tentang situasi Ukraina baik di media maupun di media sosial. Tak lama kemudian isu Taiwan dicampuradukkan.
Pulau yang memerintah sendiri itu diperlakukan oleh pemerintah China sebagai provinsi yang membangkang yang harus disatukan dengan wilayah China.
Di platform Weibo, Twitter versi China, kalangan nasionalis menggunakan invasi Rusia ke Ukraina untuk menyerukan negara mereka sendiri mengikuti langkah Rusia.
Mereka berkomentar, "Kesempatan terbaik untuk mengambil kembali Taiwan sekarang!" Ketika Pemerintah China menolak memberlakukan sanksi terhadap Rusia selama beberapa hari terakhir, negara itu paham kemungkinan akan mengalami hal serupa jika mengambil paksa Taiwan.
Perang itu dipastikan dahsyat dan ongkosnya mahal. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Hua Chunying mengatakan bahwa China tidak pernah berpandangan sanksi adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah.
Sensor dan kritik di media sosial Vladimir Putin mengatakan ia membebaskan para penutur bahasa Rusia di wilayah Ukraina.
Bagaimana dengan etnik Mongolia, Korea, Kirgistan yang sekarang menjadi bagian dari China? Yang berpotensi lebih eksplosif bagi Beijing, bagaimana jika Tibetan atau Uyghur kembali mengobarkan tuntutan untuk memiliki otonomi lebih luas atau bahkan menuntut kemerdekaan? Bagi pemerintahan Xi Jinping yang menjadi prioritas adalah memastikan hal itu tidak benar-benar terjadi.
Karena itu pula, kita bisa menyimak pernyataan-pernyataan di media sosial China untuk mengetahui arah dari media Partai Komunis dalam menggiring opini masyarakat tentang langkah Putin di Eropa Timur. (Kontan/Noverius Laoli/Kompas.com/ Aditya Jaya Iswara)