Masih Dihantui Krisis Ekonomi, Sri Lanka Negosiasikan Lagi Pakta Perdagangan dengan3 Negara
Sri Lanka akan memulai kembali negosiasi pakta perdagangan dengan India, China, dan Thailand setelah terhenti selama 5 tahun.
Penulis: Mikael Dafit Adi Prasetyo
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, COLOMBO – Sri Lanka akan memulai kembali negosiasi pakta perdagangan dengan India, China, dan Thailand setelah terhenti selama 5 tahun.
Dilansir dari Channel News Asia, Sri Lanka kini berada di tengah krisis keuangan terburuk dalam kurun waktu lebih dari tujuh dekade, dipicu oleh kekurangan devisa yang parah sehingga membuat negara itu berjuang untuk membayar bahan bakar, makanan, dan obat-obatan.
“Pejabat dari Thailand dijadwalkan tiba di Sri Lanka pada Senin (9/1/2023) untuk memulai pembicaraan putaran ketiga setelah negosiasi dihentikan pada 2018,” kata K.J. Weerasinghe, Kepala Negosiator Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) Sri Lanka.
Sementara negosiasi dagang dengan India dan China sebagai mitra dagang terbesar Sri Lanka yang masing-masing menyumbang sekitar 5 miliar dolar AS dalam perdagangan bilateral pada 2021, diharapkan akan dimulai pada Februari dan Maret.
"Fokusnya adalah pada peningkatan kerja sama ekonomi dan menarik investasi, yang sangat penting bagi Sri Lanka untuk menghadapi krisis ekonomi ini," kata Weerasinghe.
"Tujuan utama saya adalah menyelesaikan semua kesepakatan ini pada akhir 2023 atau awal 2024,” tambahnya.
Direktur Jenderal Perundingan Departemen Perdagangan Thailand, Auramon Supthaweethum, mengatakan bahwa pembicaraan telah tertunda karena krisis ekonomi Sri Lanka dan pandemi Covid-19.
Baca juga: Di Bawah Kepemimpinan Ranil Wickremesinghe, Inflasi Sri Lanka Susut Jadi 65 Persen
"Kami menuju ke sana untuk melanjutkan diskusi," kata Supthaweethum.
Pada September 2022, Sri Lanka telah menandatangani perjanjian awal dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk paket bailout senilai 2,9 miliar dolar AS.
Baca juga: Inflasi Sri Lanka Menurun ke 57,2 Persen di Desember
Namun paket pinjaman tersebut belum dapat dicairkan mengingat negara itu belum menyelesaikan utangnya.