Kontroversi Benjamin Netanyahu, PM Israel yang Kini Berjuang Melawan Maut dengan Alat Pacu Jantung
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dikenal sebagai salah satu pemimpin sayap kanan paling kejam dalam sejarah Israel.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Choirul Arifin
Ia mengecam Olmert karena mengatakan bahwa 'kelangsungan hidup Israel bergantung pada tercapainya penyelesaian damai dengan Palestina'.
Disebut secara luas di Israel dengan julukannya sebagai Bibi, Netanyahu adalah pemimpin Israel pertama yang lahir setelah pembentukan negara Yahudi pada 1948.
Baca juga: Disebut Sempat Pingsan, Benjamin Netanyahu Jalani Operasi Jantung
Ia menghabiskan tahun-tahun sekolah menengahnya di AS, kemudian menjalani tugas lima tahun di Pasukan Pertahanan Israel, di mana dirinya menjadi kapten di unit komando elit.
Dia lalu kembali ke AS untuk kuliah dan menerima gelar B.S. dalam arsitektur dari Massachusetts Institute of Technology, gelar M.S. dari MIT Sloan School of Management dan belajar ilmu politik di Universitas Harvard serta MIT.
Netanyahu kemudian bekerja selama enam tahun di sektor swasta sebelum bekerja di Kedutaan Besar Israel di Washington.
Baca juga: Netanyahu Berjanji Musuh-musuh Israel akan Membayar Harga untuk Setiap Tindakan Agresi
Dia pernah menjadi duta besar Israel untuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dari 1984 hingga 1988. Setelah kembali ke Israel, dirinya terpilih menjadi anggota Knesset pada 1988 dan menjadi pemimpin partai Likud pada 1993.
Kesepakatan damai yang sulit dipahami
Dikutip dari NBC News, Minggu (23/7/2023), selama tugas pertamanya sebagai perdana menteri Israel, Benjamin Netanyahu menekankan kebijakan tiga larangan.
Mulai dari tidak ada penarikan dari Dataran Tinggi Golan, tidak ada penarikan atau bahkan pembahasan kasus Yerusalem dan tidak ada negosiasi di bawah prasyarat apapun.
Namun, Netanyahu mengakui perlunya solusi dua negara.
Dia setuju menyerahkan 80 persen wilayah Hebron pada 1997 ke kendali Otoritas Palestina dan tahun berikutnya menandatangani Memorandum Sungai Wye yang menguraikan penarikan lebih lanjut dari Tepi Barat, tindakan yang oleh beberapa kritikus sayap kanannya dicirikan sebagai penyerahan diri.
Namun hingga saat ini, kesepakatan damai antara Israel dan Palestina masih jauh dari harapan, dan banyak yang menyalahkan Netanyahu atas kebuntuan tersebut.
Pada 2010, saat masih menjadi Wakil Presiden AS, Joe Biden mencoba memulai pembicaraan damai antara Israel dan Palestina.
Namun Israel mempermalukan AS dengan mengumumkan rencana untuk membangun rumah baru bagi orang Yahudi di tanah yang disengketakan yakni Yerusalem Timur, area yang memiliki populasi Arab yang banyak serta diklaim orang Palestina sebagai ibu kota masa depan.