Hamas Bantah Tuduhan Kekerasan Seksual terhadap Israel dalam Serangan 7 Oktober
Hamas membantah tuduhan Israel tentang kekerasan seksual terhadap Israel pada serangan 7 Oktober 2023 lalu.
Penulis: Widya Lisfianti
Editor: Nuryanti
TRIBUNNEWS.COM - Polisi Israel mengaku telah mengumpulkan bukti kekerasan seksual yang dilakukan oleh Hamas yang menyerbu komunitas dan pangkalan militer Israel.
Mulai dari dugaan pemerkosaan berkelompok hingga mutilasi post-mortem (pasca kematian) pada serangan Hamas 7 Oktober 2023.
Hamas menolak tuduhan pemerkosaan dan kekerasan seksual tersebut.
Hamas menganggapnya sebagai kebohongan yang tidak berdasar.
Pernyataan Hamas muncul beberapa hari setelah UN Women mengatakan mereka "kecewa dengan banyaknya laporan mengenai kekejaman berbasis gender" selama serangan di Israel selatan, yang menurut pihak berwenang menewaskan sekitar 1.200 orang, sebagian besar warga sipil.
Sebaliknya, Hamas justru menganggap tuduhan tersebut adalah bagian dari "kampanye Zionis yang mempromosikan kebohongan dan tuduhan yang tidak berdasar untuk menjelek-jelekkan perlawanan Palestina", dikutip dari Al Arabiya.
Baca juga: UNICEF: Serangan Israel di Gaza Semakin Buruk bagi Anak-anak dan Para Ibu
Seorang perwira polisi senior Shelly Harush mengatakan kepada anggota parlemen pekan lalu bahwa penyelidik telah mengumpulkan lebih dari 1.500 kesaksian dari para saksi, petugas medis, dan ahli patologi.
Sementara itu, Israel memperluas serangannya di Jalur Gaza pada Senin (4/12/2023), ketika kekhawatiran internasional semakin mendalam atas meningkatnya jumlah korban warga sipil Palestina di wilayah yang terkepung dan penuh sesak itu.
Kembalinya peperangan terbuka setelah gencatan senjata antara Israel dan Hamas berakhir telah menimbulkan dampak yang besar di seluruh wilayah dan memicu konflik yang lebih luas.
Israel berjanji untuk menyerang Gaza selatan – tempat Israel sebelumnya memaksa warga Palestina untuk mengungsi – dengan “kekuatan yang tidak kalah kuatnya”.
Warga mengatakan militer menjatuhkan selebaran yang menyebut Khan Younis sebagai “zona pertempuran berbahaya” dan memerintahkan mereka untuk pindah ke kota perbatasan Rafah atau daerah pesisir di barat daya.
Halima Abdel-Rahman, seorang janda dan ibu dari empat anak, mengatakan kepada The Associated Press bahwa dia tidak lagi mengindahkan perintah tersebut.
Dia meninggalkan rumahnya pada bulan Oktober ke daerah di luar Khan Younis, tempat dia tinggal bersama kerabatnya.
“Penjajah menyuruh Anda pergi ke daerah ini, lalu mereka mengebomnya,” katanya melalui telepon.