Palestina Desak Mahkamah Internasional untuk Setop Pendudukan Israel, Sebut Ini Ilegal dan Apartheid
erwakilan Palestina untuk PBB pada hari Senin meminta hakim di Mahkamah Internasional untuk menyatakan pendudukan Israel di wilayah mereka ilegal.
Penulis: Farrah Putri Affifah
Editor: Bobby Wiratama
TRIBUNNEWS.COM - Perwakilan Palestina untuk PBB pada hari Senin meminta hakim di Mahkamah Internasional (ICJ) untuk menyatakan pendudukan Israel di wilayah mereka ilegal.
“Kami meminta Anda untuk memastikan bahwa kehadiran Israel di wilayah pendudukan Palestina adalah ilegal,” kata Riad Mansour, perwakilan Palestina untuk PBB, dikutip dari Al Arabiya.
Menurutnya, keputusan dari ICJ ini akan sangat membantu warga Palestina mendapatkan keadilan.
“Temuan dari pengadilan terhormat ini akan berkontribusi untuk segera mengakhiri [pendudukan], membuka jalan menuju perdamaian yang adil dan abadi,” katanya.
Pernyataan tersebut disampaikan pada sidang bersejarah mengenai legalitas pendudukan Israel selama 57 tahun.
Kasus ini dibuka dengan latar belakang perang Israel-Hamas, yang segera menjadi titik fokus pada sidang.
Meskipun sidang tersebut bertujuan untuk berpusat pada kendali terbuka Israel atas Tepi Barat yang diduduki, Jalur Gaza dan wilayah yang dianeksasi Yerusalem Timur.
Majelis Umum PBB meminta pendapat yang bersifat nasihat, atau tidak mengikat, mengenai pendudukan pada tahun 2022.
Lebih dari 50 negara akan menyampaikan argumen hingga 26 Februari.
Sementara Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki mengatakan kepada pengadilan tinggi PBB bahwa rakyatnya menderita 'kolonialisme dan apartheid' di bawah pemerintahan Israel.
“Orang-orang Palestina telah mengalami kolonialisme dan apartheid. Ada orang-orang yang marah dengan kata-kata ini. Mereka seharusnya marah dengan kenyataan yang kita derita,” kata al-Maliki.
Ia mendesak ICJ untuk segera mengakhiri total pendudukan Israel yang menduduki wilayah Palestina.
Baca juga: Hubungan Brasil-Israel Meruncing, Presiden Lula da Silva Tarik Dubes
"Penghentiannya segera, total dan tanpa syarat," jelasnya.
Menurutnya, warga Palestina telah lama tidak mendapat keadilan.
“Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak dan rakyat Palestina sudah terlalu lama tidak mendapatkan keadilan,” katanya.
Sehingga ia mentatakan ini waktu yang tepat untuk mengakhiri kependudukan Israel.
“Inilah waktunya untuk mengakhiri standar ganda yang telah terlalu lama membelenggu masyarakat kita," tegasnya.
Sementara pakar hukum Internasional, Paul Reichler mewakili Palestina mengatakan kepada Mahkamah Internasional bahwa apa yang dilakukan pendudukan Israel saat ini bertujuan mempeluas wilayah mereka.
"Sejauh ini sejalan dengan tujuan gerakan pemukim Israel untuk memperluas kendali jangka panjang atas Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur, dan dalam praktiknya untuk lebih mengintegrasikan wilayah-wilayah tersebut ke dalam wilayah Israel," kata Paul Reichler, dikutip dari Asharq Al-Aswat.
Perwakilan Israel tidak dijadwalkan untuk berbicara dalam sidang tersebut.
Namun pihak Israel menyerahkan surat setebal lima halaman ke pengadilan pada bulan Juli lalu yang diterbitkan setelah sidang hari Senin.
Dalam surat tersebut, Israel mengatakan pendapat penasihat akan 'berbahaya' bagi upaya penyelesaian konflik karena pertanyaan yang diajukan oleh Majelis Umum PBB bersifat berprasangka buruk.
Para hakim diperkirakan membutuhkan waktu sekitar enam bulan untuk mengeluarkan pendapat mengenai permintaan tersebut, yang juga meminta mereka untuk mempertimbangkan status hukum pendudukan dan konsekuensinya.
Sebagai informasi, Israel telah merebut Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza dalam perang Timur Tengah tahun 1967.
Sejak saat itu, Palestina menginginkan kembali ketiga wilayah tersebut untuk menjadi negara merdeka.
Sementara Israel menganggap Tepi Barat sebagai wilayah yang disengketakan dan masa depannya harus diputuskan melalui negosiasi.
Kelompok pengawas Peace Now mengatakan di Tepi Barat, Israel telah membangun 146 pemukiman.
Pemukiman tersebut banyak yang di bangun di pinggiran kota dan kota-kota kecil yang sudah berkembang sepenuhnya.
Permukiman tersebut adalah rumah bagi lebih dari 500.000 pemukim Yahudi.
Sementara sekitar 3 juta warga Palestina tinggal di wilayah tersebut.
Tidak hanya itu, Israel juga telah mencaplok Yerusalem timur.
Mereka menganggap seluruh kota itu sebagai ibu kotanya.
Di Yerusalem Timur, terdapat 20.00 warga Israel yang tinggal di pemukiman tersebut.
Penduduk Palestina di kota tersebut menghadapi diskriminasi sistematis.
Hal tersebut membuat penduduk Palestina kesulitan membangun rumah baru atau memperluas rumah yang sudah ada.
Pada tahun 2005, Israel sempat menarik semua tentara dan pemukimnya dari Gaza.
Akan tetapi, mereka tidak diam begitu saja.
Mereka tetap mengontrol wilayah udara, garis pantai, dan daftar penduduk di wilayah tersebut.
Israel dan Mesir memberlakukan blokade di Gaza ketika kelompok militan Palestina Hamas berhasil merebut kekuasaan di sana pada tahun 2007.
Komunitas internasional menganggap pemukiman tersebut ilegal.
Aneksasi Israel atas Yerusalem Timur merupakan rumah bagi tempat-tempat suci paling sensitif di kota itu namun tidak diakui secara internasional.
(Tribunnews.com/Farrah Putri)
Artikel Lain Terkait Konflik Palestina vs Israel dan Mahkamah Internasional