Bocorkan Ada Tentara Inggris di Ukraina untuk Lawan Rusia, Kanselir Jerman Kena Marah
Kanselir Jerman Olaf Scholz dikritik pejabat Inggris setelah menyebut ada tentara Inggris yang beroperasi di Ukraina.
Penulis: Febri Prasetyo
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Kanselir Jerman Olaf Scholz dikritik pedas oleh Inggris setelah menyebut ada tentara Inggris yang beroperasi di Ukraina.
Sebelumnya, Scholz menyebut negaranya tak akan memasok rudal jarak jauh Taurus ke Ukraina karena pengoperasian rudal itu memerlukan keberadaan personel militer Jerman di Ukraina.
Kemudian, dia secara tidak langsung mengungkap bahwa tentara Inggris telah membantu Ukraina menembakkan rudal untuk melawan Rusia.
"Taurus senjata dalam jarak sangat jauh, dan apa yang telah dilakukan pihak Inggris dan Prancis dalam hal kontrol target dan bantuan kontrol target tak bisa dilakukan di Jerman," kata Scholz dikutip dari Russia Today.
Scholz juga menyinggung risiko Jerman terlibat langsung dalam perang Ukraina-Rusia jika negaranya mengirimkan Taurus.
Adapun di Jerman sendiri Scholz dikritik karena tidak mengirimkan bantuan senjata, terutama senjata jarak jauh, yang diperlukan Ukraina untuk melawan Rusia.
Pernyataan Scholz itu ditanggapi sinis oleh Tobias Ellwood, mantan Ketua Komite Pertahanan Majelis Rendah Inggris.
Menurut Ellwood, ucapan Scholz itu adalah "penyalahgunaan intelijen secara terang-terangan, yang sengaja dirancang untuk mengalihkan perhatian dari keengganan Jerman untuk mempersenjatai Ukraina dengan sistem rudal jarak jauhnya".
Ellwood yang kini menjabat sebagai anggota Majelis Rendah juga meyakini pernyataan Scholz akan dimanfaatkan Rusia untuk meningkatkan eskalasi.
Politikus Jerman bernama Norbert Rottgen turut mengkritik pernyataan Scholz.
"Pernyataan Kanselir tentang dugaan keterlibatan Prancis dan Inggris dalam pengoperasian rudal jarak jauh yang digunakan di Ukraina sama sekali tidak bertanggung jawab," kata Rottgen dikutip dari The Independent.
Baca juga: Anggota NATO Ini Siap Jadi Negara Pertama Kirim Tentaranya ke Ukraina
Scholz sendiri telah berdebat dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron perihal perang di Ukraina.
Dia menolak gagasan apa pun tentang pengiriman pasukan NATO atau pasukan Barat di negara bekas Uni Soviet itu.
Sementara itu, pada hari Selasa, (27/2/2024), Financial Times mengutip pernyataan perjabat senior pertahanan Eropa yang isinya mengungkapkan keberadaan pasukan Barat di Ukraina.
"Setiap orang tahu bahwa ada pasukan khusus Barat di Ukraina, mereka hanya belum mengakuinya secara resmi," kata pejabat itu.
Adapun Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak pada hari Selasa mengonfirmasi bahwa pemerintah Inggris memiliki "sejumlah kecil" tentara yang dikerahkan di Ukraina.
Namun, Sunak mengatakan Inggris tidak punya rencana untuk mengerahkan tentara secara besar-besaran ke Ukraina.
"Di luar sejumlah kecil personel yang kami punya di negara itu yang membantu angkatan bersenjata Ukraina, kami tidak punya rencana pengerahan berskala besar," kata Sunak kepada wartawan.
Di samping itu, dia menyebut ada banyak tentara Ukraina yang kini sedang dilatih di Inggris. Kemudian, dia menegaskan negaranya mendukung Ukraina dengan peralatan perang.
NATO disebut akan kirim pasukan
Pakar politik dan keamanan bernama Mark Sleboda memprediksi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) nantinya akan mengirim pasukan ke Ukraina guna melawan Rusia.
Sebelumnya, Presiden Prancis Macron menyinggung kemungkinan pengiriman tentara NATO ke bekas negara Uni Soviet itu.
Baca juga: Sebut NATO akan Kirim Tentara ke Ukraina untuk Lawan Rusia, Pakar: Eropa Kini Hancur Berantakan
Pernyataan Macron itu kemudian ditanggapi oleh juru bicara pemerintah Rusia, Dmitry Peskov.
"Dalam kasus ini, kita seharusnya tidak berbicara tentang kemungkinan, tetapi keniscayaan," ujar Peskov, dikutip dari Sputnik News.
Peskov memperingatkan bahwa jika NATO benar-benar mengirimkan pasukan, hal itu akan "bertentangan dengan kepentingan negara-negara itu dan rakyat masing-masing".
Adapun dulu negara-negara Barat sempat menolak kemungkinan pengiriman tank ke Ukraina. Namun, negara-negara itu pada akhirnya mengirimkannya juga.
Saat ini situasi di Ukraina disebut sedang berpihak kepada Rusia.
"Sudah jelas bahwa tren dalam perang ini menguntungkan Rusia," ujar Sleboda yang menyebut bahwa konflik Ukraina-Rusia telah berubah menjadi perang atrisi.
"Rezim ini (Ukraina) dilanda masalah kekurangan personel yang parah," katanya.
Sleboda juga menyampaikan bahwa negara-negara NATO kesusahan memasok senjata yang bisa mencukupi kebutuhan Ukraina.
Di samping itu, dia menyindir Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang mengklaim pihaknya hanya kehilangan 31.000 tentara dalam perang selama 2 tahun.
"Itu kira-kira jumlah tentara mereka yang hilang per byuan, setidaknya dalam delapan bulan terakhir," ucap Sleboda.
Kendati demikian, pakar keamanan itu menyebut rezim militer Kiev belum hancur.
"Mereka bekerja keras di garis depan."
(Tribunnews/Febri)