Akhirnya AS Akui Israel Tak Akan Bisa Kalahkan Hamas Sepenuhnya, 'End Game' Wajib Ada
Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Vedant Patel mengatakan Israel tak akan bisa mengalahkan Hamas sepenuhnya.
Penulis: Febri Prasetyo
Editor: Sri Juliati
UNRWA, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi pengungsi Palestina, berujar bahwa sudah ada lebih dari 450.000 orang yang meninggalkan Rafahs sejak 6 Mei lalu.
AS awalnya menolak invasi Israel ke Rafah karena IDF tidak menyodorkan rencana yang mencukupi untuk melindungi warga sipil Palestina.
Namun, beberapa hari belakangan AS mengatakan kerugian kemanusiaan di Rafah tidak akan sepadan dengan keuntungan militer yang kecil.
Di sisi lain, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terus menyinggung pentingnya kemenangan total atas Hamas.
Menurut Netanyahu kemenangan itu bergantung pada kesuksesan operasi militer di Rafah untuk menghancurkan empat batalion Hamas.
Berbeda dengan Netanyahu, Campbell tidak yakin kemenangan total bisa dicapai oleh Israel.
“Ide semacam kemenangan telak di medan tempur, kemenangan total. Saya pikir kami tidak meyakini ini mungkin terjadi,” ucap Campbell pada hari Senin saat KTT Muda NATO di Miami, AS.
Baca juga: AS Batal Kirim Bom untuk Israel, tapi Akan Kirim Bantuan Senjata Lain Senilai 1 Miliar Dolar Lebih
Seperti Campbell, Blinken pada hari Minggu lalu juga meragukan kemampuan Israel yang hanya mengandalkan kekutan militer untuk mengalahkan Hamaz.
Blinken menyebut situasi perang di Gaza saat ini mirip dengan situasi yang dihadapi AS di Irak setelah peristiwa serangan tanggal 11 September 2001.
Kata Blinken, AS meyakini cara terbaik untuk menyelesaikan masalah di Gaza ialah dengan “solusi yang lebih politis.
Hal itu menjadi salah satu alasan Biden dan timnya sangat terlibat dalam persoalan di Timur Tengah.
Blinken menyebut negara-negara Timur Tengah ingin solusi politis yang di dalamnya hak-hakwarga Palestina bisa lebih dihormati.
Sementara itu, Campbell menyebut AS telah mendengar bahwa perang di Gaza justru mendorong ketidakstabilan, terutama di kawasan Indo-Pasifik.
“Kita terkadang lupa bahwa masyarakat muslim terbesar pada kenyataannya berada di Asia Tenggara, di negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei,” kata Campbell.
“Negara-negara ini sangat menginginkan kita agar bergerak ke periode setelah perang Gaza, yang pada periode itu Gaza dibangun kembali dan ada solusi politik,” katanya.
(Tribunnews.com/Febri)