Tawanan Palestina Bercerita soal Siksaan Tak Manusiawi di Dalam Penjara Israel
Abayat mengatakan Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Itamar Ben-Gvir berpartisipasi dalam penyiksaan di penjara militer Ofer, sebelah barat Ramalla
Penulis: Hasanudin Aco
"Penjara Negev seperti Guantanamo. Saya melihat tahanan dibunuh dan diinjak-injak dengan sepatu bot," kata Moazzaz Abayat.
TRIBUNNEWS.COM, GAZA - Moazzaz Khalil Abayat tidak percaya dia dibebaskan dari penjara Negev di Israel selatan.
Dia kini berbaring di ranjang rumah sakit di Beit Jala Tepi Barat selatan, Gaza.
Abayat (37) yang berasal dari kota Betlehem di Tepi Barat, dibebaskan dalam kondisi kesehatan yang “mengejutkan” pada hari Selasa (16/7/2024) setelah jadi tawanan selama sembilan bulan oleh militer Israel.
“Penjara Negev seperti Guantanamo. Saya melihat tahanan dibunuh dan diinjak-injak dengan sepatu bot,” kata Abayat kepada Anadolu.
"Setiap malam, kami dipukuli habis-habisan. Hanya tadi malam, saya tidak dipukul," katanya.
Meski dikelilingi keluarga dan teman di rumah sakit, Abayat tetap bingung dan yakin bahwa dirinya masih dalam tahanan.
"Setelah ditangkap, saya diinterogasi militer dan dituduh sebagai pembunuh. Saya tidak pernah membunuh siapa pun," kenangnya.
“Saya menderita patah tulang di kepala dan tangan. Saya dipukul di bagian sensitif dan terluka. Saya dimasukkan ke dalam kantong hitam seolah-olah saya sudah mati.”
Baca juga: Ada Pertemuan Rahasia Amerika, Israel, dan Otoritas Palestina di Tel Aviv Soal Penyeberangan Rafah
Abayat mengatakan Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Itamar Ben-Gvir berpartisipasi dalam penyiksaan di penjara militer Ofer, sebelah barat Ramallah.
"Tahanan meninggal di penjara. Ini adalah seruan bagi semua orang untuk mengambil tindakan guna menyelamatkan mereka," katanya.
Bicara Abayat kadang-kadang tidak nyambung.
Ini menunjukkan ia masih mengalami tekanan psikologis yang berat seolah-olah masih dipenjara.
Keluarga terkejut
Ayah Abayat, Khalil, terkejut dengan kondisi kesehatan putranya.
"Keluarga sangat terkejut. Moazzaz tampak seperti orang yang sama sekali berbeda," katanya kepada Anadolu.
“Anak saya adalah seorang binaragawan, bekerja di toko daging, mudah bergaul, dan menjadi tulang punggung keluarga bagi lima orang anak. Kini, ia hampir kehilangan ingatannya, hampir lumpuh, kurus, tidak dapat berjalan, dan tidak mengenali banyak anggota keluarga,” imbuh Khalil.
Ia mencatat berat badan Moazzaz turun dari sekitar 110 kilogram menjadi hanya 50 kilogram.
“Moazzaz dipukuli selama masa penahanannya, dari saat ia ditangkap hingga pembebasannya.”
Diserang secara brutal
Dr. Nizar Qumsiyeh, direktur medis rumah sakit tersebut, mengatakan Abayat mengalami berbagai memar dan berada dalam kondisi psikologis yang serius.
“Kami telah memulai tes medis dan sedang menunggu hasilnya, tetapi jelas dia yakin dia masih di penjara dan dikelilingi oleh sipir,” imbuh Qumsiyeh.
“Ia memerlukan pemeriksaan dan tindak lanjut lebih lanjut untuk menentukan kebutuhan dietnya guna memulihkan kesehatan fisiknya dan kemudian memulai perawatan psikologis jangka panjang.”
Menurut Masyarakat Tahanan Palestina, Abayat dipukuli secara brutal saat ditangkap pada akhir Oktober 2023.
"Ia menjadi sasaran serangkaian serangan kejam, termasuk penyiksaan dan kelaparan," katanya.
"Kondisi kesehatannya setelah dibebaskan hari ini menjadi bukti atas apa yang ia alami selama penahanannya."
Abayat sebelumnya ditahan dua kali oleh pasukan Israel.
Ia tidak mengalami masalah kesehatan apa pun sebelum penangkapan terakhirnya.
Setidaknya 3.380 warga Palestina, termasuk wanita dan anak-anak, saat ini ditahan tanpa dakwaan di penjara-penjara Israel, menurut otoritas Palestina.
Israel, yang mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera, telah menghadapi kecaman internasional di tengah serangan brutalnya yang berkelanjutan di Gaza sejak serangan 7 Oktober 2023 oleh kelompok Palestina Hamas.
Hampir 38.300 warga Palestina telah terbunuh, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan lebih dari 88.200 lainnya terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Sembilan bulan setelah perang Israel, sebagian besar wilayah Gaza hancur di tengah blokade makanan, air bersih, dan obat-obatan yang melumpuhkan.