Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun
BBC

Koryoin, etnis Korea yang bermigrasi ke Rusia pada abad ke-19 dan 'sambutan dingin' warga Korsel

Etnis Korea yang leluhurnya bermigrasi ke Rusia lebih dari 100 tahun lalu kini kembali ke Korea Selatan, namun perpindahan tersebut…

zoom-in Koryoin, etnis Korea yang bermigrasi ke Rusia pada abad ke-19 dan 'sambutan dingin' warga Korsel
BBC Indonesia
Koryoin, etnis Korea yang bermigrasi ke Rusia pada abad ke-19 dan 'sambutan dingin' warga Korsel 

Wakil Kepala Sekolah Kim Guen-tae mengatakan, menjalankan sekolah yang 80% siswanya multikultural bisa menjadi hal yang sangat melelahkan.

Di masa lalu ketika jumlah siswanya lebih sedikit akan lebih mudah untuk belajar bahasa Korea di luar kelas, karena sebagian besar dari mereka memiliki satu orang tua yang berkewarganegaraan Korea.

Angka partisipasi sekolah menengah atas (SMA) bagi siswa multikultural sedikit lebih rendah dibandingkan siswa lokal, menurut survei nasional resmi yang dilakukan pada 2021.

Park Min-jung, peneliti di Pusat Penelitian dan Pelatihan Migrasi, khawatir akan semakin banyak siswa Koryoin yang putus sekolah jika mereka tidak mendapatkan dukungan yang diperlukan.

“Jika hal ini terus berlanjut, saya khawatir tentang bagaimana anak-anak dapat tinggal di Korea di masa depan,” kata Guru Senior Chu.

Pemisahan ini tidak hanya terjadi di sekolah – misalnya di Asan, lebih banyak warga Koryoin yang menetap di kota tua, sementara penduduk setempat pindah ke kota baru.

Ni, seorang pekerja pabrik yang datang ke Korea Selatan bersama istri dan lima anaknya dari Kazakhstan pada 2018, mengatakan bahwa dia melihat banyak tetangganya di Korea telah pindah dari gedung tempat tinggal mereka.

BERITA TERKAIT

“Orang Korea sepertinya tidak suka memiliki Koryoin sebagai tetangga,” katanya sambil tertawa canggung.

“Terkadang orang Korea bertanya, mengapa kami tidak tersenyum kepada mereka. Memang begitulah kami, bukan karena kami marah. Tapi orang-orang yang tidak mengenal kami mengira kami sedang marah.”

Dia mengatakan ada perselisihan antar anak-anak di lingkungannya, dan dia pernah mendengar kasus di mana anak-anak Koryoin bersikap “kasar” saat bertengkar.

“Setelah itu, orang tua Korea menyuruh anaknya untuk tidak bermain dengan anak Koryoin. Saya pikir itulah yang menyebabkan segregasi terjadi.”

Kurangnya kebijakan imigrasi

Pengalaman Kota Asan dalam menangani masuknya warga etnis Korea dari luar negeri mengungkap tantangan lebih luas yang dihadapi Korea Selatan dalam menangani imigrasi – sebuah isu kontroversial di salah satu negara dengan etnis paling homogen di dunia.

“Sudah ada penolakan psikologis yang signifikan terhadap masuknya etnis Korea yang tidak berbeda dengan kami, jadi saya khawatir tentang bagaimana Korea akan dapat menerima imigran lain [beda etnis] di masa depan,” kata Seong Dong-gi, pakar Koryoin. di Universitas Inha.

Lee Chang-won, direktur Pusat Penelitian dan Pelatihan Migrasi, sepakat dengan hal ini.

"Tidak ada rencana yang jelas mengenai imigrasi di tingkat pemerintah pusat. Menyelesaikan masalah kependudukan di negara ini dengan orang asing hanyalah sebuah pemikiran belaka.”

Tahun lalu, ada sekitar 760.000 etnis Korea dari China dan negara-negara berbahasa Rusia yang tinggal di Korsel, setara dengan 30% dari populasi asing di negara tersebut.

Korea Selatan juga merupakan tujuan populer bagi pekerja migran dari negara-negara seperti Nepal, Kamboja, dan Vietnam. Pada 2023 terdapat sekitar 2,5 juta orang asing yang tinggal di negara tersebut.

Kebanyakan dari mereka berprofesi di lapangan kerja fisik dan hanya 13% yang melakukan pekerjaan profesional.

Lee mengatakan kebijakan imigrasi saat ini “sangat menekankan pada pekerja berketerampilan rendah”, yang mengarah pada “pandangan umum” bahwa orang asing hanya bekerja di Korea Selatan untuk sementara dan kemudian pergi.

Akibatnya, dia mengatakan, hanya ada sedikit diskusi mengenai penyelesaian jangka panjang bagi semua imigran.

“Saya berharap krisis yang kita rasakan terhadap populasi dapat menjadi katalis bagi masyarakat untuk memandang imigrasi secara berbeda,” kata Choi, peneliti.

“Sekaranglah waktunya untuk memikirkan bagaimana mengintegrasikannya.”

Meski mengalami beberapa tantangan, Ni tidak menyesali keputusan pindah ke Korea Selatan.

Sumber: BBC Indonesia
BBC
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas