Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun
Deutsche Welle

75 Tahun Frankfurt Book Fair: Pameran Buku dan Ajang Protes

Perang Dingin, neo-Nazi, serta fatwa Iran terhadap Salman Rushdie, semuanya pernah ikut memengaruhi Frankfurt Book Fair, yang berusia…

zoom-in 75 Tahun Frankfurt Book Fair: Pameran Buku dan Ajang Protes
Deutsche Welle
75 Tahun Frankfurt Book Fair: Pameran Buku dan Ajang Protes 

Setahun kemudian, penerbit Yunani berhadapan dengan para mahasiswa dan penjual buku yang memprotes kediktatoran militer di Yunani yang berkuasa pada bulan April 1967.

Pameran pada tahun 1968 ditandai dengan protes mahasiswa di Jerman Barat dan di seluruh dunia dan tercatat sebagai "Pameran Polisi." Tahun itu, Penghargaan Perdamaian Perdagangan Buku Jerman diberikan kepada presiden pertama Senegal, Leopold Sedar Senghor, yang juga terkenal sebagai penyair dan ahli teori budaya. Saat itu, para pengunjuk rasa di Frankfurt mengecam pemerintahan Senghor yang semakin otoriter. Demonstrasi mahasiswa Senegal telah ditumpas dengan kekerasan awal tahun itu.

Pada tahun 1971, protes selama pameran buku difokuskan pada Iran, karena upaya untuk menggulingkan Shah disambut dengan kekerasan. Tahun 1989, Iran tidak diundang karena telah memunculkan seruan untuk membunuh Salman Rushdie.

Seperti banyak kaum kiri lainnya, novelis Salman Rushdie mengecam Shah Iran dan awalnya mendukung Revolusi Islam Iran 1979. Namun 10 tahun kemudian, penulis tersebut menjadi target utama Ruhollah Khomeini, Pemimpin Tertinggi Iran, yang mengeluarkan fatwa yang memerintahkan pembunuhan Rushdie karena novelnya yang berjudul Satanic Verses, yang sebagian terinspirasi kehidupan nabi umat Islam, Muhammad.

Seruan untuk melakukan pembunuhan tersebut menyebabkan penyelenggara pameran buku melarang Iran berpartisipasi selama bertahun-tahun, termasuk pada tahun 1998, ketika Rushdie tiba-tiba muncul pada upacara pembukaan dengan pengamanan ketat.

Sebaliknya, Iran juga memboikot Frankfurt Book Fair pada berbagai kesempatan, termasuk pada tahun 2015 ketika Rushdie diundang untuk memberikan pidato pembukaan. Pada tahun 2023, Rushdie memenangkan Penghargaan Perdamaian dari Perdagangan Buku Jerman setelah selamat dari penikaman pada 2022.

Kontroversi negara Tamu Kehormatan

Konsep negara Tamu Kehormatan secara resmi diperkenalkan pada 1988, dimulai dengan Italia. Turki menjadi Tamu Kehormatan pada 2008, mempromosikan keragaman literaturnya dengan slogan "penuh warna yang memesona." Penulis termasuk Asli Erdogan, Elif Shafak, dan Sebnem Isiguzel sebagai suara-suara baru yang kuat dari Turki.

BERITA REKOMENDASI

Namun dalam pidato pembukaan acara tersebut, Orhan Pamuk, penulis buku terlaris Turki dan peraih Nobel Sastra 2006, mengkritik kurangnya kebebasan berekspresi di negara asalnya. Pamuk sebelumnya membuat pernyataan tentang genosida Armenia dan pembunuhan massal suku Kurdi. Hal ini membuat ia dituntut dan buku-bukunya dibakar massa yang mengamuk.

Partisipasi Cina sebagai Tamu Kehormatan pada tahun 2009 memicu kontroversi. Beberapa minggu sebelum acara pameran dimulai, para penulis pembangkang dari Cina yang sedianya berpartisipasi dalam simposium tidak jadi diundang karena tekanan Cina.

Sumber: Deutsche Welle
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas