Pengamat: Ekonomi Global 2025 Dipengaruhi Ketidakstabilan Geopolitik
Dari sisi domestik, Bhima mencatat bahwa kebijakan fiskal yang agresif, seperti kenaikan PPN, dapat mengurangi daya beli masyarakat
Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Selain membahas tantangan ekonomi, kedua pembicara sepakat bahwa integrasi prinsip ESG dalam kebijakan ekonomi menjadi langkah penting untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan.
"Di tengah tantangan eksternal, urgensi penerapan ESG semakin tinggi, khususnya di sektor strategis seperti energi, keuangan, dan pertanian. Penerapan ESG tidak hanya mengelola risiko bisnis tetapi juga mendorong stabilitas ekonomi dan daya saing dalam jangka panjang," kata Bhima.
Bhima menambahkan bahwa regulasi dan standar internasional mendorong perusahaan Indonesia untuk mempercepat penerapan ESG.
Beberapa regulasi yang relevan seperti IFRS 1 dan IFRS 2, EU Deforestation Regulation, Financial Stability Board (FSB) melalui Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD), dan Global Reporting Initiatives (GRI) yang menjadi kerangka kerja utama untuk pelaporan keberlanjutan.
Tagor mengatakan, Grant Thornton Indonesia melihat bahwa tren ESG di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara maju.
"Meski demikian, jika diterapkan dengan benar, ESG dapat membantu perusahaan menghadapi fluktuasi ekonomi global dan memastikan keberlanjutan usaha," katanya.
Proyeksi Ekonomi Indonesia di Tahun 2025
Bhima Yudhistira memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2025 hanya akan mencapai 4,7 persen–4,9%, lebih rendah dari target 5%.
"Motor pertumbuhan ekonomi masih bisa didorong karena Indonesia memiliki peluang besar dengan aktifnya peran Presiden dalam diplomasi dagang dan investasi.
Kunjungan Presiden ke berbagai forum harus ditindaklanjuti dalam realisasi investasi yang lebih berkualitas serta memperbaiki kesiapan infrastruktur pendukung domestic termasuk sumber energi terbarukan," ungkapnya.
Ia menambahkan, beberapa faktor yang memengaruhi proyeksi ini meliputi nilai Tukar Rupiah: Dolar AS diperkirakan mencapai Rp16.200–Rp16.700 akibat kebijakan The Fed dan administrasi Presiden AS Donald Trump.
Kemudian kontribusi Komoditas: Sektor komoditas belum menjadi andalan yang signifikan untuk mendorong devisa dan kebijakan domestik yakni kenaikan PPN dapat menekan daya beli masyarakat dan memperluas pasar barang ilegal.
"Meski menantang ,tetapi sektor-sektor seperti pertanian, perikanan, pendidikan, konstruksi, dan bioekonomi diproyeksikan mendapatkan dukungan penuh pemerintah untuk tetap tumbuh positif tahun depan," tambah Bhima.
Tagor Sidik Sigiro menggarisbawahi bahwa beberapa provinsi seperti Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Timur menunjukkan pertumbuhan tinggi, berkat investasi besar di sektor unggulan.
Namun, ia memperingatkan bahwa pelaku usaha kemungkinan akan berada dalam survival mode hingga 2025, mengingat kebijakan fiskal saat ini menjadi tantangan utama.