Beredar di Indonesia 70 Persen Susu Pertumbuhan Balita Ternyata Tidak Sehat, Bisa Sebabkan Stunting
Ini merupakan pekerjaan rumah bagi Indonesia terutama BKKBN yang sedang ditunjuk Presiden untuk atasi masalah stunting di Indonesia.
Editor: Husein Sanusi
TRIBUNNEWS.COM - Helen Keller Internasional melalui projek ARCH Nutrition merilis hasil riset terhadap praktik pelabelan pada 100 produk susu pertumbuhan yang beredar di Indonesia pada Selasa, 26 Januari 2021 lalu pukul 10.41 malam WIB, melalui akun twitter @ARCH_Nutrition.
Cuitan @ARCH_Nutrition tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh dr. Dian N Hadihardjono, MSc. dari Helen Keller Indonesia melalui akun twitternya @dn_basuki (Rabu, 27/01/2021).
Riset tersebut bertajuk “Nutritional Composition and Labelling Practices of Growing-up Milks (GUMs), launched in Indonesia between January 2007 and May 2019”.
Yang dalam versi Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "Komposisi Kandungan Gizi dan Praktik Pemberian Label pada Susu Pertumbuhan (GUMs) yang Berlaku di Indonesia antara Januari 2017 dan Mei 2019".
Susu pertumbuhan yang dimaksud dalam riset tersebut adalah susu pertumbuhan yang ditujukan untuk anak usia 1-3 tahun dalam bentuk minuman (baik cair maupun bubuk untuk dilarutkan) yang berbahan dasar susu sapi baik yang sudah dimodifikasi maupun tidak.
Studi ini berkonsentrasi untuk menentukan kesesuaian kandungan gula yang tertera dan profil zat gizi (menggunakan Model Nutrient Profiling oleh Food Standards Agency Inggris) pada susu pertumbuhan yang beredar di berbagai kota di Indonesia antara Januari 2017 dan Mei 2019, seperti yang ditangkap oleh Innova Market Insight.
Pada studi ini ditemukan bahwa sebagian besar produk susu pertumbuhan mengandung 1–10 jenis gula atau pemanis tambahan. Jika dirata-rata, setiap jenis produk menambahkan setidaknya 5 jenis gula atau pemanis buatan.
Sedangkan World Health Organization (WHO) merekomendasikan untuk membatasi asupan gula tambahan atau gula bebas karena dapat mengganggu kesehatan.
Hasil dari algoritma Front of Pack (FoP) Food Standards Agency Inggris untuk menilai kandungan gula yang tertera pada label produk-produk tersebut, ditemukan hampir tiga perempat atau sekitar 70% susu pertumbuhan memiliki kandungan gula tinggi.
“Laporan terbaru kami mengungkap kadar gula yang mengkhawatirkan dalam susu pertumbuhan …” cuit dr. Dian.
Riset tersebut menyimpulkan susu pertumbuhan di Indonesia tidak sesuai untuk menjadi asupan gizi balita, bahkan sepatutnya diberi label warna merah pada kotak kemasannya sebagai peringatan akan risiko kesehatan sebagai dampak dari tingginya kandungan gula.
Tetapi, alih-alih memberi label dengan warna merah, riset tersebut justru jg mengungkapkan fakta adanya klaim gizi yang menyiratkan adanya manfaat kesehatan dan baik untuk tumbuh maupun kembang anak.
Dalam ringkasan eksklusif riset yang dipublikasikan di archnutrition.org menyatakan bahwa hampir semua (97%) susu pertumbuhan membuat beberapa jenis klaim kandungan zat gizi. Padahal jika mengacu pada codex, klaim tersebut justru tidak diizinkan pada makanan untuk bayi dan anak-anak.
Menariknya, klaim dengan kalimat “rendah sukrosa” setelah dianalisa menggunakan algoritma FoP ternyata dikategorikan memiliki total gula yang tinggi.
“… SEPERTIGA dari susu pertumbuhan yang membuat klaim kandungan zat gizi, ternyata TIDAK SEHAT,” simpul dr. Dian.
Padahal jika melihat harga produk susu pertumbuhan tersebut dijual dengan harga yang cukup mahal, dalam riset tersebut mencatat perbandingan harga susu pertumbuhan mencapai 9x lebih mahal daripada susu sapi segar. Susu sapi segar, menurut rekomendasi WHO, merupakan minuman padat gizi yang sesuai untuk anak usia di atas 1 tahun yang tidak mendapatkan ASI.
Ini merupakan pekerjaan rumah bagi Indonesia terutama BKKBN yang sedang ditunjuk Presiden untuk atasi masalah stunting di Indonesia.
Saat ini Indonesia dihadapkan pada 3 masalah gizi pada anak dibawah umur 5 tahun, kekurangan gizi kronis yang bertransformasi menjadi stunting, disisi lain banyak anak mengalami kelebihan berat badan dan obesitas, diantara keduanya ada masalah gizi ketiga yaitu kekurangan zat gizi mikro.
Ketiga masalah tersebut timbul karena peningkatan asupan makanan padat energi, miskin zat gizi mikro, dan pemberian ASI yang mulai tergantikan.