BPJS Watch: Pelaksanaan KRIS Harus Jamin Peserta JKN Dapat Kamar di RS
Ia memaparkan, pelaksanaan KRIS verpotensi akan menghambat akses peserta JKN pada ruang perawatan.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar berharap pelaksanaan kelas rawat inap standar (KRIS) secara tidak merugikan hak peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Timboel menilai, Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 tentang JKN memang mengatur KRIS dengan ruang perawatan mengarah ke satu ruang perawatan dengan maksimal 4 tempat tidur dan 12 kriteria ruangan.
Namun, pelaksanaan KRIS berpotensi menimbulkan masalah bagi peserta JKN.
"Pelaksanaan KRIS nantinya akan menjadi masalah bagi peserta JKN dan menjadi kontraproduktif," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/5/2024).
Baca juga: Kelas BPJS Kesehatan Resmi Dihapuskan, Pemerintah Terapkan Sistem KRIS
Ia memaparkan, pelaksanaan KRIS verpotensi akan menghambat akses peserta JKN pada ruang perawatan.
Pelaksanaan KRIS akan merujuk pada Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 yang mengatur rumah sakit Swasta dapat mengalokasikan ruang perawatan KRIS minimal 40 persen dari total yang ada.
Dan RS pemerintah minimal mengalokasikan 60 persen.
"Bila sebuah RS swasta mengalokasikan 50 persen, maka itu sudah memenuhi PP Nomor 47 tersebut. Jadi yang bisa diakses peserta JKN hanya 50 persen sementara 50 persen lagi untuk pasien umum," terang dia.
Demikian juga bila RS Pemerintah memasang 80 persen untk KRIS maka 80 persen untuk pasien JKN dan 20 persen untuk pasien umum.
"Ini artinya terjadi pembatasan akses bagi peserta JKN ke ruang perawatan di RS. Saat ini saja, dimana ruang perawatan klas 1, 2 dan 3 diabdikan semuanya untuk pasien JKN, masih terjadi kesulitan mengakses ruang perawatan, apalagi nanti dengn KRIS. Akan terjadi ketidakpuasan untuk layanan JKN dari peserta JKN," ungkap Timboel.
Sebelum lahirnya Perpres 59 ini, pihaknya meminta Pemerintah melibatkan masyarakat peserta JKN dalam pembuatan regulasi KRIS namun sayangnya tidak berjalan.
"Kami sudah meminta Pemerintah mengkaji ulang KRIS dgn melakukan standarisasi ruang perawatan klas 1, 2 dan 3, bukan membuat KRIS menjadi satu ruang perawatan," jelasnya.
Baca juga: Sertu Onisius Letelai Diganjar Penghargaan usai Bantu Tangani Stunting, Ternyata Ini Dilakukannya
Saat ini KRIS sudah dituangkan dalam regulasi Perpres 59 tahun 2024 dan oleh karenanya baik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Dinas Kesehatan (Dinkes) serta BPJS Kesehatan harus memiliki program untuk memastikan peserta JKN mendapat kemudahan dalam mengakses ruang perawatan.
"Tidak boleh ada lagi peserta JKN mengalami kesulitan mengakses ruang perawatan, sehingga menjadi pasien umum yang bayar sendiri. JKN jadi tidak bisa digunakan," kata dia.
Timboel mengatakan, jika di sebuah RS kamar perawatan penuh, Pemerintah (Kemenkes dan dinkes maupun BPJS Kesehatan) harus segera mencarikan RS yang mampu merawatnya dan merujuk ke RS tersebut dengan ambulan yang dibiayai JKN.
Jangan biarkan pasien JKN atau keluarganya yang mencari ssndiri RS yang bisa merawat mereka.
Sayangnya, di Perpres 59 ini tidak ada klausula yang mewajibkan Pemerintah (Kemenkes dan Dinkes) serta BPJS Kesehatan yang mencarikan RS yang bisa merawat, bila pasien JKN mengalami masalah di sebuah RS.
"Saya berharap di Permenkes KRIS nanti klausula tersebut disebutkan secara eksplisit sehingga Pemerintah dan BPJS Kesehatan benar benar menjamin pasien JKN mudah mengakses ruang perawatan KRIS," harap Timboel.