Konsumsi Rokok Murah Meningkat, YLKI Tuding Berlapisnya Struktur Tarif Cukai Sebagai Pemicu
Struktur cukai rokok yang rumit dan berlapis membuat selisih harga rokok antar golongan semakin jauh.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Melonjaknya konsumsi rokok murah menunjukkan upaya pemerintah menekan prevalensi perokok lewat instrumen kenaikan tarif cukai tidak berhasil.
Hal ini lantaran struktur cukai rokok yang rumit dan berlapis membuat selisih harga rokok antar golongan semakin jauh.
Kondisi ini disampaikan Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyanto.
“Perbedaan pungutan cukai dari masing-masing layer itu cukup signifikan. Ini yang memicu produsen berpindah dari satu layer ke layer lainnya dengan cara memproduksi barang sejenis bermerek baru dengan harga lebih murah,” kata Agus kepada wartawan, Jumat (31/5/2024).
Tarif cukai rokok saat ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022, di mana terdapat 8 layer tarif untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT).
Misalnya, untuk SKM yang merupakan kategori terbesar, tarif cukai ditetapkan untuk Golongan 1 sebesar Rp1.231/batang sedangkan untuk Golongan 2 sebesar Rp746/batang.
Pada tingkat konsumen, penerapan struktur cukai rokok yang berlapis juga mendorong menjamurnya merek rokok baru dengan harga yang lebih murah.
Hal ini membuat konsumen cenderung menurunkan pilihannya ke rokok sejenis berharga murah. Sehingga upaya menekan prevalensi perokok yang digadang-gadang pemerintah menjadi tidak berhasil.
Kerumitan ini, menurut Agus, dapat diselesaikan dengan menyederhanakan atau simplifikasi sistem cukai rokok di Indonesia yang saat ini termasuk paling kompleks di dunia.
Baca juga: Perpindahan Konsumsi ke Rokok Murah Rugikan Penerimaan dan Pengendalian Rokok
"Pemerintah harus berani memangkas gap pungutan cukai antara satu layer dengan layer lainnya untuk mempersempit perbedaan harga. Dengan demikian, pilihan konsumen ke produk yang lebih murah menjadi semakin sempit,” kata dia.
Sementara itu, Kepala Riset dan Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiative (CISDI), Olivia Herlinda mengungkap peralihan konsumsi ke rokok yang lebih murah dapat terjadi karena Indonesia menerapkan sistem cukai yang kompleks dan berlapis.
Saat ini, masing-masing segmen SKM, SPM, dan SKT memiliki lapisan tarif yang berbeda berdasarkan golongan produksi dengan perbedaan tarif antar golongan mencapai 40 persen.
Padahal, kebijakan kenaikan cukai rokok bertujuan agar seluruh harga rokok naik dan terjadi perubahan perilaku berupa penurunan konsumsi masyarakat. Namun justru konsumsi tersebut berpindah ke rokok yang lebih murah imbas penerapan rendah cukai di layer bawah.
“Namun, sekarang nyatanya perubahan perilaku yang terjadi adalah masyarakat memilih rokok yang lebih murah karena memang di lapangan masih ada produk rokok yang terjangkau akibat penerapan cukai pada layer bawah yang lebih rendah” terang Olivia.
Olivia juga memaparkan bahwa pengurangan variasi harga rokok sebagai solusi downtrading merupakan salah satu rekomendasi berbagai hasil kajian CISDI.
Baca juga: Kenaikan Tarif Cukai Dorong Industri Produksi Rokok Murah
Hal ini juga sejalan dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyarankan besaran jarak tarif dan harga jual eceran antar golongan harus dibuat semakin kecil untuk mendorong efektivitas kebijakan cukai.
Olivia juga menegaskan, kenaikan cukai rokok dapat mendorong perokok untuk mengurangi bahkan berhenti merokok, di mana kenaikan ini dinilai juga akan berdampak positif pada situasi makro ekonomi.
"Rekomendasi kami sejalan dengan rekomendasi yang diberikan oleh WHO, yaitu membuat harga rokok tidak terjangkau dengan kenaikan harga cukai dan simplifikasi layer tarif cukai,” ujarnya.