Wakil Ketua MPR: Proses Legislasi RUU PPRT Harus Berlanjut
Proses legislasi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) harus dilanjutkan
Editor: Content Writer
Menurut Donna, perlu membentuk public pressure untuk mendorong RUU PPRT segera menjadi undang-undang.
Pakar Hukum Tata Negara, Atang Irawan berpendapat dalam skema politik legislasi dibutuhkan dasar pertimbangan yang jelas untuk mengklasifikasi sejumlah RUU yang masuk ke dalam prolegnas.
Bila dasar pertimbangannya jelas, tegas Atang, akan sangat mudah untuk menentukan skala prioritas antara RUU satu dengan lainnya dalam suatu proses legislasi.
Diakui Atang, proses legislasi RUU PPRT terlalu lambat. Atang menilai konsep kolektif kolegial sejatinya berlaku pada pimpinan DPR, karena antara ketua dan wakil ketua memiliki kewenangan yang sama.
Sehingga bila Ketua DPR berhalangan, tambah dia, bila jumlah pimpinan lain sudah quorum bisa segera melanjutkan proses legislasi dengan membahas di tingkat Bamus.
Ketua Pengurus Asosiasi LBH APIK, Nursyahbani Katjasungkana mengungkapkan ide awal terkait kepemimpinan perempuan sejatinya sudah didorong sejak proses legislasi UU Pemilu dan UU Partai Politik agar partisipasi perempuan di bidang politik meningkat.
Menurut Nursyahbani, bekerja untuk memperjuangkan kepentingan politik perempuan tidak akan efektif bila tidak melihat persoalan perempuan lain yang rentan dan marjinal.
Dalam kasus terhambatnya proses legislasi RUU PPRT, Nursyabani menilai ada krisis ethic of care atau krisis kepedulian dari kepemimpinan di DPR.
Dia menyarankan untuk terus melakukan lobi kepada pimpinan DPR agar proses pembahasan RUU PPRT bisa dituntaskan.
Selain itu, Nursyahbani juga mendorong agar masyarakat mengajukan citizen lawsuit untuk menuntut keadilan atas terhambatnya proses pembahasan RUU PPRT.
Kepala Riset dan Pengembangan Organisasi YLBHI, Pratiwi Febri berpendapat RUU PPRT merupakan pilihan aturan hukum yang bisa diupayakan untuk melindungi pekerja rumah tangga.
Menurut Pratiwi, menghambat proses pembahasan RUU PPRT merupakan kejahatan kemanusiaan. Karena berdasarkan catatannya pada tahun ini hingga Juni 2024, terdapat 3.627 kasus pelanggaran hak pekerja rumah tangga.
"Dalam enam bulan terakhir saja kita seharusnya bisa memahami pentingnya kehadiran UU PPRT untuk melindungi para pekerja rumah tangga," tegas Pratiwi.
Dia menilai hambatan pembahasan RUU PPRT bukan semata problem legislasi, tetapi ada penyebab yang lebih besar daripada itu.