Pengamat Politik Menilai Pemilih Masa Depan RI Tidak Terpengaruh Suku dan Agama Caleg atau Capres
Ray mengatakan tiga nama yang kerap unggul dalam sejumlah survei yang akan membedakan mereka adalah basis primordialisme.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik, Ray Rangkuti menilai pemilih masa depan Indonesia tidak terpengaruh dengan suku dan agama dari Calon Legislatif (Caleg) maupun Calon Presiden (Capres) yang ingin mereka pilih.
Ray mengibaratkan pemilih masa depan seperti penonton Youtube.
Mereka tidak peduli siapa saja yang membuat konten dalam sebuah video.
"Penonton Youtube itu tidak peduli siapa yang membuat konten. Sukunya apa, agamanya apa, daerahnya dari mana , jenis kelaminnya apa, usianya berapa bahkan dari mana kalau videonya bagus ya kita likes, benar nggak?" kata Ray dalam Talkshow bersama Tribun Network dan Wartakotalive: Memilih, Damai dengan tema 'Membedah Genealogi Presiden dari Masa ke Masa' yang dipandu Pemimpin Redaksi Wartakotalive Domu Ambarita dan diselenggarakan di Universitas Al-Azhar, Jakarta, Kamis (8/12/2022).
Baca juga: Survei SMRC: Dekat Dengan Rakyat Jadi Penilaian Terpenting Bagi Pemilih
Sebagaimana diketahui stigma masyarakat melekat cukup kuat bahwa tokoh yang akan menjadi presiden Indonesia harus yang berasal dari suku Jawa.
Pasalnya, berdasarkan fakta yang ada, tidak dapat dipungkiri bahwa sejak merdeka, tujuh presiden Indonesia selalu beririsan dengan suku Jawa.
Menurut Ray dalam konteks permainan politik, identifikasi suku dan agama akan dimainkan.
Apalagi pada Pemilu 2024, dimana persaingan antar Capres cukup ketat.
Ray mengatakan tiga nama yang kerap unggul dalam sejumlah survei yang akan membedakan mereka adalah basis primordialisme.
"Tokoh ini yang dianggap sebagai tokoh yang islamis, tokoh ini yang dianggap nasionalis, ini dianggap mungkin kompromi diantara keduanya dan seterusnya. Jadi untuk kepentingan politik ini relevan," ujarnya.
Hasil survei yang dilakukan beberapa lembaga survei bahkan menunjukkan sekira 67 persen pemilih tidak peduli suku dari calon legislatif maupun calon presiden.
Bahkan survei yang dilakukan parameter politik Indonesia menunjukkan pemilih yang memilih calon legislatif maupun presiden karena agama dan sukunya tidak lebih dari 4 persen.
Ray mengatakan pemilih Indonesia dewasa kini, berdasarkan hasil survei bersandar pada 2 hal, pertama bersandar pada psikologis dan rasional.
"Psikologik ini yang paling tinggi, berkaitan dengan kedekatan. Jadi kalau calon pemimpin dekat pada semua orang, dia punya potensi dipilih oleh orang,"
"Rasional, dia nawarin apa? Track recordnya seperti apa. Jadi kalau dua hal ini nggak ketemu, nggak akan dipilih orang," ujarnya.
Oleh sebab itu, melihat dari aspek genealogi maka kemungkinan ada model kepemimpinan dalam struktur kepemimpinan nasional Indonesia yang disukai mayoritas masyarakat Indonesia.
"Kalau kita melihat ke genealogi ini, sebetulnya merepresentasikan apa yang disebut sebagai Indonesia. MIsalnya, Pak Karno lahir dan besar di suku jawa, sehingga dia butuh pendamping yang memiliki watak yang tidak bisa berkompromi, siap untuk konfrontasi, maka datanglah Pak Hatta," kata Ray.