Direktur Pushan Sebut Sistem Proporsional Terbuka Picu Politik Uang dan Konflik
Sistem proporsional terbuka dengan nyoblos caleg selain berbiaya tinggi juga picu konflik, Pemilu berbiaya mahal berkorelasi dengan tingkat korupsi.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (Pushan) Dr. Oce Madril merespons soal proporsional terbuka atau tertutup pada sistem Pemilu tahun 2024.
Ia menyadari, bahwa sebagian kalangan menyatakan bahwa sistem proporsional tertutup dengan nyoblos partai lebih simpel dan lebih murah.
Namun sebagian yang lain tetap menginginkan agar sistem proporsional terbuka diterapkan.
Menurut Oce, konstitusi sebenarnya tidak mengatur mengenai sistem Pemilu apa yang harus diterapkan.
"Jadi pilihan sistem pemilu, apakah proporsional terbuka atau tertutup merupakan kebijakan hukum terbuka. Kedua sistem itu pun pernah diterapkan di Indonesia,” kata Oce Madril, Kamis (5/1/2023).
Oce pun menyebut, yang harus diingat, ada implikasi dari setiap pilihan sistem pemilu tersebut.
Misalnya, sistem proporsional terbuka dengan nyoblos caleg menitikberatkan pada individu, sehingga setiap Caleg berlomba-lomba untuk dapat terpilih dan mengeluarkan biaya banyak.
Hal ini menyebabkan politik berbiaya sangat tinggi (high cost politics).
Banyak riset telah dilakukan yang menyimpulkan rata-rata pengeluaran Caleg DPR mencapai angka Rp 4 miliar dan bahkan ada yang menghabiskan sampai Rp 20 miliar.
Lalu, di tingkat DPRD biayanya juga luar biasa hanya untuk berebut 1 kursi.
Baca juga: Sistem Pemilu Terbuka Bikin Pemilih Tergantung pada Figur Individu Populer atau yang Berduit
Oce Madril pun menambahkan bahwa biaya tinggi yang harus dikeluarkan Caleg tersebut untuk membiayai berbagai kebutuhan kampanye agar dapat meraih suara sebanyak-banyaknya.
Para Caleg akan bertarung dengan caleg dari partai lain dan bahkan akan gontok-gontokan dengan Caleg dalam satu partai. Selain berbiaya tinggi, juga memicu konflik.
“Oleh karena orientasinya adalah meraih suara sebanyak-banyaknya, maka berbagai intrik dilakukan termasuk melakukan praktik politik uang (money politics). Maka banyak riset menyatakan bahwa politik uang di Indonesia sangatlah tinggi,” ujarnya.
Pegiat anti-korupsi ini juga menilai, Pemilu yang berbiaya mahal berkorelasi dengan tingginya tingkat korupsi di sebuah negara.
Rumusnya sederhana, karena biaya (modal) yang harus dikeluarkan Caleg sangat mahal, maka ketika terpilih rentan melakukan korupsi untuk mengembalikan modal biaya pemilu dan menyiapkan modal baru agar dapat terpilih di pemilu berikutnya.
Baca juga: Politikus PAN: Mayoritas Parpol dan Masyarakat Inginkan Sistem Proporsional Terbuka
Persoalan turunan yang ditimbulkan oleh sistem pemilu berbiaya mahal ini telah dirasakan selama ini dan hingga saat ini, persoalannya semakin akut, korupsi politik dan politik uang semakin merongrong institusi demokrasi.
“Sementara sistem proporsional tertutup menyisakan masalah demokratisasi di tingkat partai, khususnya berkaitan dengan rekrutmen politik," terangnya.
"Oleh karena itu, apabila nanti Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa sistem proporsional tertutup (nyoblos partai) kembali diterapkan, maka Partai-partai harus memberikan jaminan bahwa rekrutmen Caleg dilakukan berdasarkan merit system dengan mengajukan kader-kader berkualitas, tidak hanya berdasarkan popularitas semata,” tutup Oce Madril.