8 Parpol Berkumpul Tolak Wacana Sistem Proporsional Tertutup pada Pemilu 2024, Ini Kata Pengamat
Pengamat dari Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro memberikan komentarnya terkait adanya 8 parpol tolak sistem pemilu proporsional tertutup.
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Arif Fajar Nasucha
"Berbeda dengan sistem proporsional terbuka, di mana caleg akan dipaksa membangun relasi dan komunikasi dengan para calon pemilih," tandas Bawono.
Baca juga: Tak Ikut Hadir, PDIP Hormati Pertemuan 8 Parpol Parlemen Tolak Sistem Proporsional Tertutup Pemilu
Sikap PDIP
Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto merespons pernyataan sikap ketua umum serta pimpinan 8 partai politik yang bertemu untuk menolak sistem pemilu proporsional tertutup.
Hasto menegaskan, partainya menghormati langkah yang diambil parpol-parpol tersebut.
"Pertemuan yang ada di hotel Dharmawangsa ya itu kita hormati sebagai bagian dalam tradisi demokrasi kita," kepada Tribunnews.com.
Mengenai isu sistem pemilu proporsional terbuka yang hendak diusulkan diubah tertutup seperti yang menjadi materi gugatan di Mahkamah Konstitiusi (MK), Hasto mengatakan bahwa semua punya ranahnya masing-masing.
Terkait dengan fungsi legislasi atau pembuatan UU, ranahnya ada di DPR.
Namun hal yang menyangkut judicial review UU terhadap UUD 1945, ranahnya ada di MK.
Terkait idealisme yang dipegang PDIP terkait isu tersebut, Hasto mengatakan pihaknya melihat DPR bertanggung jawab bagi masa depan negara.
Maka sebagai partai politik yang mengajukan calon anggota DPR, PDIP memerlukan para ahli dan pakar di bidangnya untuk bisa dicalonkan sebagai anggota DPR.
Baca juga: 5 Pernyataan Sikap 8 Pimpinan Parpol di DPR Terkait Penolakan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
“Di komisi I DPR kami perlu pakar-pakar pertahanan, para pakar-pakar diplomasi yang memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia. Di komisi IV kami memerlukan pakar-pakar pertanian.
"Nah dengan proporsional terbuka, ketika kami menawarkan kepada para ahli untuk membangun Indonesia melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan di DPR, banyak yang mengatakan biayanya tidak sanggup," ujarnya.
"Karena proporsional terbuka dalam penelitian Pak Pramono Anung, minimum paling tidak harus ada (modal, red) yang Rp 5 miliar untuk menjadi anggota dewan. Bahkan ada yang habis sampai Rp 100 miliar untuk menjadi anggota dewan,” urai Hasto.
“Maka ada kecenderungan struktur anggota dewan, banyak yang didominasi para pengusaha,” tukasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.