8 Parpol Berkumpul Tolak Wacana Sistem Proporsional Tertutup pada Pemilu 2024, Ini Kata Pengamat
Pengamat dari Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro memberikan komentarnya terkait adanya 8 parpol tolak sistem pemilu proporsional tertutup.
Penulis: Endra Kurniawan
Editor: Arif Fajar Nasucha
TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah petinggi elite partai politik (parpol) berkumpul untuk bersama-sama menolak sistem pemilu proporsional tertutup di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Minggu (8/1/2023).
Adapun partai yang hadir dalam acara ini, yakni Golkar, PAN, NasDem, Demokrat, PKB, PKS, dan PPP.
Sementara untuk Gerindra meskipun tidak hadir, partai berlambang kepala garuda itu sepakat menolak wacana penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024.
Pengamat politik dari lembaga survei Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro memberikan komentarnya terkait kesepakatan 8 parpol tersebut.
Ia mengatakan, pertemuan kedelapan partai politik parlemen minus PDI Perjuangan ini menarik untuk dicermati.
"Sikap ini merupakan pukulan telak terhadap PDI Perjuangan, karena partai banteng ini pendukung dari pemberlakuan kembali sistem proporsional tertutup di pemilu mendatang.
Kedelapan partai politik tersebut sadar betul apabila penerapan sistem proporsional tertutup akan menguntungkan salah satu partai saja," kata Bawono kepada Tribunnews.com, Senin (9/1/2023).
Baca juga: Banyak Parpol Koalisi Tapi Belum Usung Capres-Cawapres, Ketua DPP Eriko: Apa Kalian Tunggu PDIP?
Bawono melanjutkan, parpol yang menolak sistem pemilu proporsional tertutup juga merupakan bentuk pengawasan terhadap kerja-kerja KPU ke depan.
Seperti sikap Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari yang dinilai bertindak offside dengan mengatakan pemilu 2024 berpeluang memakai sistem proporsional tertutup.
"Selain itu sikap offside Ketua KPU juga membuat dia seolah-olah tengah menjadi juru bicara dari salah satu partai politik besar selama ini dikenal sebagai pendukung utama pemberlakuan kembali sistem proporsional tertutup," imbuh Bawono.
Bawono kemudian membeberkan kekurangan sistem proporsional tertutup pemilu.
Sistem ini akan membuat ikatan antara pemilih dan calon legislatif (caleg) menjadi lemah.
Caleg akan merasa lebih penting membangun relasi dengan elite partai agar terpilih.
Dalam sistem proses proporsional tertutup, tidak lagi menampilkan nama-nama dan foto calon legislatif. Hanya ada hanya tanda gambar parpol sebagai peserta pemilu.
"Berbeda dengan sistem proporsional terbuka, di mana caleg akan dipaksa membangun relasi dan komunikasi dengan para calon pemilih," tandas Bawono.
Baca juga: Tak Ikut Hadir, PDIP Hormati Pertemuan 8 Parpol Parlemen Tolak Sistem Proporsional Tertutup Pemilu
Sikap PDIP
Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto merespons pernyataan sikap ketua umum serta pimpinan 8 partai politik yang bertemu untuk menolak sistem pemilu proporsional tertutup.
Hasto menegaskan, partainya menghormati langkah yang diambil parpol-parpol tersebut.
"Pertemuan yang ada di hotel Dharmawangsa ya itu kita hormati sebagai bagian dalam tradisi demokrasi kita," kepada Tribunnews.com.
Mengenai isu sistem pemilu proporsional terbuka yang hendak diusulkan diubah tertutup seperti yang menjadi materi gugatan di Mahkamah Konstitiusi (MK), Hasto mengatakan bahwa semua punya ranahnya masing-masing.
Terkait dengan fungsi legislasi atau pembuatan UU, ranahnya ada di DPR.
Namun hal yang menyangkut judicial review UU terhadap UUD 1945, ranahnya ada di MK.
Terkait idealisme yang dipegang PDIP terkait isu tersebut, Hasto mengatakan pihaknya melihat DPR bertanggung jawab bagi masa depan negara.
Maka sebagai partai politik yang mengajukan calon anggota DPR, PDIP memerlukan para ahli dan pakar di bidangnya untuk bisa dicalonkan sebagai anggota DPR.
Baca juga: 5 Pernyataan Sikap 8 Pimpinan Parpol di DPR Terkait Penolakan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
“Di komisi I DPR kami perlu pakar-pakar pertahanan, para pakar-pakar diplomasi yang memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia. Di komisi IV kami memerlukan pakar-pakar pertanian.
"Nah dengan proporsional terbuka, ketika kami menawarkan kepada para ahli untuk membangun Indonesia melalui fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan di DPR, banyak yang mengatakan biayanya tidak sanggup," ujarnya.
"Karena proporsional terbuka dalam penelitian Pak Pramono Anung, minimum paling tidak harus ada (modal, red) yang Rp 5 miliar untuk menjadi anggota dewan. Bahkan ada yang habis sampai Rp 100 miliar untuk menjadi anggota dewan,” urai Hasto.
“Maka ada kecenderungan struktur anggota dewan, banyak yang didominasi para pengusaha,” tukasnya.
Sistem yang ada Indonesia saat ini, lanjut Hasto, meniru sistem di AS.
Dan justru di AS, yang kerap dianggap ikonnya demokrasi, justru saat ini mengalami krisis, yang bahkan kesulitan saat akan memilih Ketua DPR-nya.
“Maka PDI Perjuangan menawarkan suatu wacana untuk mari kita berpikir ulang dalam demokrasi kita. Diskursus inilah yang menyehatkan demokrasi. Masalah nanti apapun yang diputuskan MK, kami sekali lagi PDI Perjuangan bukan pihak yang punya legal standing melakukan Judicial Review,” ucap Hasto.
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan/Naufal Lanten)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.