Pengamat Sebut Banyak Parpol Pragmatis hanya Jadi Pengumpul Suara Terjebak Politik Identitas
Hendri Satrio menyebut, banyak partai politik (parpol) tidak lagi menawarkan ide atau gagasan, melainkan hanya sebagai pengumpul suara.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Komunikasi Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menyebut, banyak partai politik (parpol) tidak lagi menawarkan ide atau gagasan, melainkan hanya sebagai pengumpul suara.
Hal tersebut disampaikan Hendri Satrio, dalam diskusi politik yang digelar Bawaslu RI bertajuk "Pemilu Pestanya Rakyat? di Tengah Sejumlah Persoalan yang Belum Terselesaikan", secara daring, Jumat (17/3/2023).
"Banyak sekali parpol sudah mengubah dirinya sebagai lembaga ide dan gagasan agar dipilih oleh rakyat untuk mewakili di majelis perwakilan rakyat itu hanya menjadi organisasi pengumpul suara saja," kata Hendri Satrio, Jumat ini.
Baca juga: Romo Magnis Suseno Sentil Capres dan Cawapres Abai Adu Gagasan
Menurutnya, tujuan parpol pragmatis jika berubah menjadi sekadar pengumpul suara.
"Begitu menjadi organisasi pengumpul suara saja, tujuannya pragmatis. Tidak lagi menjual ide gagasan, tapi bagaimana mendapatkan suara yang banyak," katanya.
Menjelaskan hal tersebut, Hendri menjelaskan, karena hanya bertujuan mengumpulkan suara, banyak parpol yang terjebak dengan praktik politik identitas.
"Kalau kita bayangkan, pemilih suara terbesar di dunia ini kan muslim, maka perbutan suaranya itu ada di umat muslim. Nah yang paling unum strategi untuk mendapatkan suara itu adalah menjadi orang yang sama dengan yang memiliki suara," katanya.
"Maka politisi itu berlomba-lomba mengubah penampilannya menjadi satu identitas dengan kaum muslim, supaya bisa mendapatkan suara umat muslim," sambungnya.
Baca juga: Parpol Cenderung Pragmatis, Pengamat Nilai Pembentukan Koalisi Menuju Pemilu 2024 Masih Dinamis
Sebagai contoh dari penjelasannya itu, Hendri menyebut, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menggunakan Ka'bah sebagai logo partai.
"Sebetulnya hal ini bukan hal baru. PPP misalnya, kurang penggunaan identitas muslim apa itu, menggunakan Ka'bah sebagai logonya," kata Hendri.
Namun, ia kemudian menjelaskan, politik identitas yang tidak boleh dilakukan adalah penyalahgunaan identitas dengan reward and punishment (penghargaan dan hukuman).
"Nah menurut saya, yang tidak boleh itu memang ada penyalahgunaan identitas dengan reward and punishment. Kalau Anda tidak pilih si x Anda akan masuk neraka. Kalau Anda pilih x Anda masuk surga. Ini yang tidak boleh dilakukan."