Polri Gaungkan Gerakan Cerdas Memilih di Pemilu: Tidak Ada Toleransi Ujaran Kebencian SARA
Polri mengingatkan masyarakat tidak boleh turut menyebarkan ujaran kebencian yang mengandung SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mabes Polri mengajak agar masyarakat Indonesia melakukan gerakan cerdas memilih di dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Polri mengingatkan masyarakat tidak boleh turut menyebarkan ujaran kebencian yang mengandung SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).
Hal tersebut disampaikan oleh Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan dalam program Gerakan Cerdas Memilih di Kantor Radio Republik Indonesia (RRI), Jakarta Pusat, Rabu (31/5/2023).
Awalnya, Ramadhan menyebutkan bahwa Polri juga turut berperan aktif dalam menyukseskan Pemilu 2024.
Adapun pengawasan dilakukan dari tingkat Mabes Polri hingga Polsek.
"Polri hadir dalam rangka mengamankan, mengawal pesta demokrasi. Ini adalah pesta rakyat Indonesia untuk menentukan pilihan pemimpin negara, juga nanti memilih calon legislatif. Nah tentu ini harus kita kawal," kata Ramadhan dalam paparannya.
Baca juga: Mahfud MD Sebut Kecurangan Akan Terjadi Saat Pemilu, KPU: Antisipasi Dengan Kerja Profesional
Dalam pengawalan ini, kata Ramadhan, Polri juga mengingatkan masyarakat berhati-hati dalam pelaksanaan Pemilu.
Sebab masyarakat ataupun simpatisan paslon atau parpol tertentu tidak boleh melakukan adu domba yang bisa terseret hukum.
"Ketika kita memilih, kita suka kepada A, tetapi ada yang tidak boleh dilakukan, misalnya seperti yang disampaikan tadi menjelek-jelekan terus menghina, mengadu domba. Ini ada larangan. Larangan ini tentu memiliki sanksi," jelasnya.
"Ada kalanya ini sebuah kebiasaan dilakukan oleh seseorang sangking simpatiknya kepada si A, maka dia ingin si A yang jadi. Tapi dia menjelek-jelekan si B misalnya. Nah ini perbuatannya bisa kena sanksi. Padahal perbuatannya itu tujuannya baik. Saya ingin si A jadi, tapi caranya salah," sambungnya.
Ia menyatakan masalah ini harus terus diingatkan kepada masyarakat lantaran banyak yang tidak mengerti jika perbuatannya tersebut bisa membuat dirinya berhadapan dengan hukum.
Apalagi, kata dia, masih banyak masyarakat yang kerap menyebarkan fitnah ataupun ujaran kebencian yang mengandung SARA.
Tindakan itu disebut merupakan hal yang tidak bisa dimaafkan secara hukum.
"Perbuatan-perbuatan itu misalnya memposting sesuatu yang sifatnya fitnah. Memposting sesuatu yang bisa mengadu domba. Apalagi ujaran kebencian yang mengandung SARA. Artinya yang dihujat, yang difitnah itu bukan satu orang," bebernya.
"Misalnya mengatakan suku A itu jelek. Suku A itu jumlahnya ada 1 juta. Oke yang memaafkan ada 5 orang. Tapi kan yang 900 ribu lebih kan tidak memaafkan. Nah ini tidak ada toleransi ketika ujaran kebencian mengandung SARA itu tidak ada toleransi," lanjutnya.
Di sisi lain, Ramadhan memahami ada pula konten yang dinilai masih bisa diselesaikan secara restorative justice.
Adapun kasus yang bisa diselesaikan tanpa proses hukum itu hanya menyangkut individu dengan individu.
"Tapi misalnya si A menghina B, misalkan saya mengatakan eh kamu mukanya jelek terus bisa diselesaikan restorative justice. Udahlah kamu mungkin masih teman saya, saya maafkan. Itu antara individu dengan individu. Itu bisa saling memaafkan dan diselesaikan secara restorative justice atau penyelesaian tanpa proses hukum," jelasnya.
Karena itu, Ramadhan meminta masyarakat untuk mulai bijak dalam bersosial media. Dia meminta masyarakat menyambut pesta demorkasi dengan cerdas tanpa menyebarkan konten yang bisa melanggar hukum.
"Nah supaya tidak terjadi hal tersebut kami mengingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia pilihlah dengan cerdas tanpa menjelek-jelekan. Tanpa memfitnah, tanpa mengadu domba," pungkasnya.