MK: Penyelenggaraan Pemilu Seharusnya Tak Terganggu dengan Pengaturan Masa Jabatan Penyelenggaranya
Mahkamah Konstitusi menilai, penyelenggaraan Pemilu seharusnya tak terganggu dengan pengaturan masa jabatan penyelenggaranya.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menyampaikan, penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) seharusnya tak terganggu dengan pengaturan masa jabatan penyelenggaranya.
Hal itu disampaikan Hakim Konstitusi dalam sidang acara membacakan amar putusan pengujian Pasal 10 ayat (9) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), di Ruang Sidang MK, Jakarta, Selasa (27/6/2023).
Hakim Konstitusi mulanya mengatakan, selaku lembaga penyelenggara Pemilu di Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki struktur anggota, yang bersifat permanen dan temporer (ad hoc).
Baca juga: Efek Isu Sistem Pemilu Banyak Bacaleg Tidak Serius Siapkan Dokumen Pendaftaran Jadi Peserta Pemilu
"KPU Kabupaten/Kota yang bersifat permanen, serta didukung struktur kelembagaan yang bersifat temporer (ad hoc) yang terdiri dari PPK, PPS, KPPS, dan Pantarlih pada Pemilu di dalam negeri sedangkan PPLN, KPPSLN, dan Pantarlih LN pada Pemilu di luar negeri [vide Pasal 13 UU 7/2017]. Selanjutnya, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPU dilengkapi dengan Sekretariat Jenderal KPU; KPU Provinsi dilengkapi dengan Sekretariat KPU Provinsi; dan KPU Kabupaten/Kota dilengkapi dengan Sekretariat KPU Kabupaten/Kota," kata Hakim Konstitusi, dalam persidangan, Selasa ini.
Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi menilai, penyelenggaraan Pemilu seharusnya tak terganggu dengan pengaturan masa jabatan penyelenggaranya.
"Dengan demikian, penyelenggara pemilu, in casu KPU, seharusnya menyelenggarakan pemilu dengan menjunjung tinggi prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tanpa perlu terganggu dengan pengaturan masa jabatan penyelenggara pemilu," ucap Hakim Konstitusi.
Lebih lanjut, Mahkamah juga menilai, sebagian besar tugas yang ada dalam tahapan seleksi calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh tim seleksi yang keanggotaannya tidak berasal dari unsur KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Baca juga: Politisasi Identitas, Disinformasi dan Ujaran Kebencian Jadi Ancaman Nonmiliter di Pemilu 2024
Sehingga, menurut Mahkamah, dalam tahap seleksi calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, KPU masih mempunyai tugas untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon anggota KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
"Oleh karena itu, menurut Mahkamah, KPU masih dapat menjalankan tugas dan wewenangnya dalam tahapan penyelenggaraan pemilu sekalipun adanya seleksi," ungkap Hakim Konstitusi.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengujian Pasal 10 ayat (9) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
"Menyatakan permohonan pemohon II tidak dapat ditermia. Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya," kata Hakim Ketua Anwar Usman saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang MK, Jakarta, Selasa (27/6/2023).
Sidang dengan nomor perkara 120/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Bahrain yang berprofesi sebagai advokat dan Yayasan Pusat Studi Strategis dan Kebijakan Publik Indonesia (CSIPP).
Pihaknya mengujikan Pasal 10 ayat (9) UU Pemilu yang menyatakan, “Masa jabatan keanggotaan KPU, KPU provinsi, KPU Kabupaten/Kota adalah selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan pada tingkatan yang sama.”
Para pemohon mempertanyakan pemangkasan masa jabatan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan keserentakan rekrutmennya dalam rangka persiapan Pemilu Serentak 2024.
Ikhwan Fahroji selaku kuasa hukum pemohon dalam sidang pada Senin (19/22/2022) menjelaskan, berdasarkan data KPU RI masa jabatan anggota KPU Provinsi pada 2023–2024 berbeda-beda.
Ketidakseragaman masa jabatan ini akan berdampak pada banyaknya gelombang seleksi dan beragamnya waktu penyelenggaraan seleksi sehingga mengganggu konsentrasi pelaksanaan tahapan pemilihan umum serentak 2024.
Baca juga: MK Tolak Uji Materi Masa Jabatan Pimpinan Parpol Karena Pemohon Tidak Serius
Seleksi anggota KPU yang bersamaan dengan pelaksanaan tahapan pemilu juga dirasa berpotensi mengganggu jalannya tahapan pemilu. Selain itu, menyebabkan pemborosan karena negara harus menanggung kompensasi gaji para anggota KPU yang dipangkas masa jabatannya. Di sisi lain, negara tetap menggaji para anggota KPU yang masih menjabat.
Selain itu para pemohon juga menilai pemangkasan ini melanggar asas legalitas. Sebab anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota dilantik untuk masa jabatan lima tahun sejak pengucapan sumpah.
"Demi penataan sistem penyelenggaraan pemilu yang baik, seharusnya rekrutmen anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota dilaksanakan secara serentak di luar tahapan pemilu atau pada pra-elektoral. Oleh karenanya, perlu dilakukan upaya transisi dengan memperpanjang masa jabatan anggota KPU yang semula berakhir 2023 dan 2024 diperpanjang hingga selesainya tahapan pemilu serentak pada tahun 2024,” jelas Ikhwan dalam sidang.
Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 10 Ayat (9) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Anggota KPU Provinsi, Anggota KPU Kabupaten/Kota yang berakhir masa jabatannya pada Tahun 2023 dan Tahun 2024 diperpanjang masa jabatanya sampai setelah selesainya Tahapan Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024”.