Politisasi Identitas, Disinformasi dan Ujaran Kebencian Jadi Ancaman Nonmiliter di Pemilu 2024
Bawaslu sebut paduan politisasi identias, disinformasi dan ujaran kebencian jadi ancaman nonmiliter di Pemilu 2024 mendatang.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI melihat paduan antara politisasi identitas, disinformasi, dan ujaran kebencian memungkinkan menjadi ancaman nonmiliter di Pemilu 2024.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menuturkan ancaman nonmiliter pada tiga aspek tersebut bagi penyelenggaraan pemilu mengacu pada risiko dan gangguan yang bukan berasal dari sektor militer, tapi dapat membahayakan integritas dan keberhasilan proses pemilihan umum.
Bagja bercermin pada pemilihan sebelumnya di mana politisasi identitas, disinformasi dan ujaran kebencian menguat melalui media sosial.
“Ketika Pilkada tahun 2017, media sosial memuat secara berlebihan terkait isu politik identitas yang kemudian berlanjut pada Pemilu 2019. Bahkan ada kecenderungan juga mengadu teman TNI dan Polri pada titik itu," kata Bagja dalam keterangannya, Selasa (27/6/2023).
Lebih lanjut, Bagja menjelaskan, politisasi identitas di Indonesia berkaitan dengan masalah etnis, ideologi, kepercayaan, dan juga kepentingan-kepentingan lokal yang direpresentasikan oleh elit melalui artikulasi politik mereka.
Sedangkan disinformasi, merujuk pada penyebaran informasi yang salah, menyesatkan, atau disengaja untuk menipu atau mempengaruhi opini publik.
Kemudian ujaran kebencian, merujuk pada komunikasi yang menyebarkan, mendorong, atau memperkuat sentimen atau sikap permusuhan, kebencian, atau diskriminasi terhadap individu atau kelompok berdasarkan ras, etnisitas, agama, gender, orientasi seksual, atau karakteristik tertentu lainnya.
Tiga hal tersebut, jelas Bagja, sangat mungkin untuk berpadu dan menyebabkan permasalahan di Pemilu 2024.
Baca juga: KPU Mengaku Belum Terima Surat Bawaslu soal Perbaikan Data Orang Meninggal Tercatat sebagai Pemilih
Hal ini menjadi sorotan, sebab menurutnya, ujaran kebencian yang dibarengi dengan disinformasi dan ujaran kebencian akan mempengaruhi kondisi masyarakat terhadap situasi kenyamanan Pemilu 2024.
Meski demikian, dia tidak memungkiri bahwa isu ini sudah dimulai saat ini jelang Pemilu 2024.
“Sekarang sudah dimulai, misalnya dulu 2017 anti terhadap ras tertentu, itu menguat di media sosial. Sekarang kalau kita lihat, sekarang muncul lagi di media sosial dan juga muncul ujaran kebencian," jelasnya.
"Sekarang sudah mulai, menyerang beberapa peserta pemilu. Beberapa kali kita baca Twitternya walau kemudian kita baca bahasanya masih lumayan soft, tapi sudah mulai menyerang lawan-lawan politik,” sambungnya.
Baca juga: Bertepatan jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-17, Wapres Maruf Amin Harap Pemilu Tetap Kondusif
Menyadari pentingnya hal tersebut untuk diperhatikan, Bagja menyatakan Bawaslu telah menyiapkan beberapa strategi untuk menangkal tiga aspek tersebut.
Seperti penguatan regulasi dan hukum terkait peningkatan kapasitas SDM pengawas, penegakan hukum dan sanksi, kampanye edukasi dan Sosialisasi, dan kerjasama di ruang digital.
“Kemudian IKP (Indeks Kerawanan Pemilu) itu bertujuan sebagai alat pemetaan potensi dan deteksi dini agar politisasi identitas dapat direduksi. Dalam konteks IKP, Bawaslu melakukan penilaian terhadap berbagai hal yang berkaitan apa saja yang kemudian bisa menjadi titik rawan pemilu terutama yang berkaitan dengan isu sosial politik,” tandas Bagja.