Sosok 4 Hakim MK Tak Setuju Kepala Daerah Belum Berusia 40 Tahun Bisa jadi Capres-Cawapres
Ada empat hakim yang berbeda pendapat atau tidak setuju terkait putusan MK soal kepala daerah yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi capres-cawapres
Penulis: Sri Juliati
Editor: Arif Fajar Nasucha
Namun, keberuntungan belum berpihak pada ayah tiga anak tersebut. Tiga kali ia gagal kuliah di kampus impiannya itu. Pertama gagal PMDK, lalu gagal di Sipenmaru 1988, dan setahun kemudian gagal lagi di UMPTN 1989.
Saldi lantas hijrah ke Jambi untuk mencari kerja. Setelah uangnya terkumpul, suami Leslie Annisaa Taufik itu kembali mencoba UMPTN pada 1990.
Ia mencantumkan tiga pilihan jurusan yaitu Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya, Teknik Sipil Universitas Andalas, dan Ilmu Hukum Universitas Andalas.
Ternyata, yang diterima adalah Ilmu Hukum Universitas Andalas. Ia pun berhasil menamatkan pendidikan di Universitas Andalas dengan IPK 3,86 dan meraih predikat Summa Cum Laude.
Setelah menamatkan pendidikan S1, Saldi yang merupakan lulusan terbaik langsung dipinang untuk menjadi dosen di Universitas Bung Hatta hingga Oktober 1995 sebelum akhirnya berpindah ke Universitas Andalas, Padang.
Di Universitas Andalas, Saldi Isra mengabdi selama hampir 22 tahun.
Ia juga menyelesaikan pendidikan S2 dan meraih gelar Master of Public Administration di Universitas Malaya, Malaysia (2001).
Kemudian pada 2009, Saldi Isra berhasil menamatkan pendidikan Doktor di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan predikat lulus Cum Laude.
Setahun kemudian, ia dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas.
Baca juga: Saldi Isra: MK Kabulkan Gugatan yang Sebenarnya Secara Tekstual Tak Dimohonkan Pemohon
2. Wahiduddin Adams
Wahiduddin Adams adalah hakim konstitusi kedua yang tidak sepakat mengenai putusan MK yang memperbolehkan kepala daerah belum berusia 40 tahun bisa menjadi capres-cawapres.
Di MK, ini adalah periode kedua Wahiduddin Adams menjadi hakim konstitusi sejak 21 Maret 2019 hingga 17 Januari 2024.
Sebelumnya, mantan PNS di Departemen Kehakiman atau kini Kementerian Hukum dan HAM juga telah menjadi hakim konstitusi, yaitu pada 21 Maret 2014 hingga 21 Maret 2019.
Saat di Kemenkumham, Wahid menduduki jabatan sebagai Dirjen Peraturan Perundang-Undangan yang membuat kerap mendatangi gedung MK.
Ia kerap hadir dalam sidang pengujian undang-undang dan sengketa kewenangan lembaga negara di MK.