Fahri Hamzah Sebut Sistem Presidential Threshold 20 Persen Ciptakan Koalisi Rasional dan Irasional
Fahri Hamzah menegaskan, bahwa sistem presidensial 20 persen tidak menciptakan koalisi rasional, tetapi koalisi irasional lebih banyak.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menegaskan, bahwa sistem presidensial 20 persen tidak menciptakan koalisi rasional, tetapi koalisi irasional lebih banyak.
"Karena semua ingin memenuhi tiket 20 persen, sehingga berkumpullah orang-orang yang banyak anomalinya seperti di koalisi perubahan ada dua partai yang masih di dalam kabinet, ikut programnya Pak Jokowi (Joko Widodo), tapi menyebut dirinya antitesis Pak Jokowi dan mengusung perubahan," kata Fahri Hamzah kepada wartawan, Kamis (26/10/2023).
Baca juga: Relawan Jokowi Mulai Turun Gunung di Pilpres 2024, Tadi Siang Dampingi Prabowo-Gibran Daftar ke KPU
Demikian juga dengan PDIP yang tetap menyebut kelanjutan dari pemerintahan Jokowi, tetapi tidak berada dalam Koalisi Indonesia Maju.
"Harusnya mereka secara rasional menyusun langkah persaingan politik, tetapi muncullah hal-hal yang tidak rasional yang bersifat simbolik," katanya.
Hal itu terjadi, karena memang sistemnya tidak mengatur, seperti tidak adanya debat calon presiden (capres) yang dilakukan sejak awal oleh para ketua umum partai atau juru bicara.
"Inilah problematik kita sekarang, sehingga menciptakan hal-hal tidak rasional dan simbolik. Sejak awal kami sudah mengusulkan agar konstetasi ini berbasis kabinet, koalisi besar 2019-2024 antara yang sedang berkuasa melawan siapa penantangnya. Kan akan lebih asyik sekali pertarungan kalau begitu," ujarnya.
Namun, disayangkan koalisi besar yang menggagas bersatunya Jokowi-Prabowo tersebut, sekarang terpecah menjadi tiga capres, yakni pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
"Karena memang sudah pecah tiga, dan mungkin bisalah yang sebelah disebut sebagai penantang. Bagusnya setelah menyebut dirinya penantang keluar dari kabinet dan betul-betul menantang jalannya pemerintahan," katanya.
Baca juga: Pilpres 2024: Perbandingan Visi Misi Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran, dan Ganjar-Mahfud MD
Karena itu, Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019 ini menilai keinginan untuk rekonsiliasi dan keberlanjutan pemerintahan Jokowi ada di pundak pasangan Prabowo-Gibran, bukan di pasangan Ganjar-Mahfud, apalagi pasangan Anies-Muhaimin.
"Mudah-mudahan para pengamat bisa mengkritisi situasi ini, karena memang alur dari cara berpikir pembentukannya kira-kira seperti itu. Ada sisi rasionalnya dan ada sisi irasionalnya. Politik itu memang tidak pernah sepenuhnya rasional, karena variabel-variabelnya begitu banyak dan kompleks," ucapnya.
Fahri menegaskan, apabila Partai Gelora masuk ke Senayan, akan lakukan pembenahan sistem pemilu, terutama yang mengatur soal treshold 20 persen.
Namun, bukan hanya itu juga yang harus dibenahi misalnya, partai pendukung yang tidak mempunyai tiket, tetapi mendukung salah satu pasangan capres, harus dimasukkan ke dalam kertas suara.
"Kami sudah tidak bisa mengusung capres sendiri, kita mendukung pun di kertas suara tidak ada. Logo Partai Gelora tidak ada, kan aneh. Padahal kita mendukung Prabowo-Gibran, tapi di kertas suara tidak ada Partai Gelora. Inilah bagian dari konsekuensi dari situasi politik sekarang dan harus kita terima. Hal-hal inilah yang kita perjuangkan untuk dilakukan perubahan Sistem Pemilu," ujar Fahri.
Fahri berharap nantinya Partai Gelora dapat membentuk satu fraksi, sehingga dialog-dialog tentang ideologi akan semakin diintensifkan, termasuk dialog mengenai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang ideal.
"Sekarang kita sudah punya tiga pasang, ya enam orang itu semuanya itu diselimuti oleh banyak hal yang tidak ideal, tetapi sudah kita putuskan. Mudah-mudahan akan membuka jalan ke depan untuk menghasilkan satu perubahan yang baik secara bertahap," pungkasnya.