Putusan Kontroversi MK Disebut Puncak Gunung Es Kemunduran Demokrasi di Indonesia
Al Araf, Ketua Badan Pengurus CENTRA Initiative, mengatakan, demokrasi di Indonesia seperti berjalan mundur ke belakang, ditambah narasi negatif.
Penulis: Malvyandie Haryadi
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah aturan syarat usia capres-cawapres terus terus bergulir.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait batas usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum lewat sidang pleno putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta pada Senin (16/10/2023).
Putusan ini terkait gugatan dari mahasiswa yang bernama Almas Tsaqibbirru Re A dengan kuasa hukum Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dkk dengan nomor gugatan 90/PUU-XXI/2023 dibacakan oleh Manahan Sitompul selaku Hakim Anggota.
Pada gugatan ini, pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Buntut dari putusan tersebut, Gibran Rakabuming Raka putra sulung Presiden Jokowi akhirnya melenggang menjadi cawapres, berdampingan dengan Prabowo Subianto.
Al Araf, Ketua Badan Pengurus CENTRA Initiative, mengatakan, demokrasi di Indonesia seperti berjalan mundur ke belakang, ditambah narasi negatif dalam dunia hukum yang menguat.
"Putusan MK semakin menampar mereka yang memiliki background hukum, betapa buruknya hukum kita saat ini. Keputusan MK dan pengesahan UU ASN menjadi Puncak gunung es kemunduran demokrasi di Indonesia saat ini," katanya dalam diskusi yang digelar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, dan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis, Kamis (16/11/2023).
Ia menambahkan, walaupun sistem pemerintahan demokratis, belum tentu penegakan hukumnya baik. Indonesia salah satunya, meskipun negara demokratis tapi tidak melalui proses deliberasi yang baik, maka kualitas hukum kita menjadi sangat buruk.
"Indonesia sedang mengalami penurunan kualitas demokrasi. Kekuasaan membuat politik kita tidak otentik, terutama pasca Putusan MK. Dinamika demokrasi di Indonesia diwarnai dengan ragam konflik internal yang terjadi, ekonomi yang melemah, problem tata Kelola sektor pertahanan dan keamanan serta politisasi hukum," katanya.
Baca juga: Soroti Isu Politik Dinasti, Mahasiswa Ajak Semua Pihak Kritis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
Drama Korea di MK
Sebelumnya, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Prof. Rokhmin Dahuri mengaku sangat khawatir terhadap kondisi kehidupan berbangsa dalam dua bulan belakangan.
Sehingga, dirinya mengundang para tokoh untuk berdiskusi. Di antaranya, Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Zainal Arifin Mochtar, Franz Magnis Suseno, Prof. Ikrar Nusa Bakti, Usman Hamid, Bivitri Susanti dan Refly Harun.
Mereka berdiskusi dengan tema Menyelamatkan Demokrasi dari Cengkeraman Oligarki dan Dinasti Politik di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (14/11/2023).
Rokhmin mengaku sangat khawatir terhadap kondisi kehidupan berbangsa dalam dua bulan belakangan, sehingga pria bergelar profesor itu mengundang para tokoh untuk berdiskusi.
"Jujur saya mengundang bukan atas lembaga apa pun, tetapi atas nama pribadi rakyat Indonesia yang sangat concern dan sangat memperhatikan dan mengkhawatirkan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam dua bulan terakhir ini," kata Rokhmin.
Rokhmin mengatakan para tokoh dan akademisi yang hadir pas diskusi punya tujuan sama, yakni mewujudkan Indonesia menjadi negara maju, adil, dan berdaulat.
Baca juga: Soroti Putusan MK Soal Usia Capres-Cawapres, Pengamat dan Akademisi: Demokrasi Mengalami Kemunduran
Dia mengatakan, majunya sebuah bangsa dan negara bisa tercapai apabila kehidupan berdemokrasi tidak dicederai.