Jimly Tanggapi Banyaknya Gugatan Soal UU Pemilu ke MK: Makanya Kepercayaan Publik Harus Dipulihkan
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie mengatakan, MK merupakan ujung dari semua masalah pemilu, pilpres, pilkada.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang (UU) Pemilu paling banyak digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), yakni sebanyak 129 kali.
Hal tersebut dikutip dari situs resmi MK, pada Rabu (22/11/2023). Adapun di peringkat dua, Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana telah digugat sebanyak 80 kali.
Di peringkat ketiga, ada Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, yang telah diuji sebanyak 45 kali.
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie mengatakan, MK merupakan ujung dari semua masalah pemilu, pilpres, pilkada.
Oleh karena itu, menurutnya, kepercayaan publik terhadap MK juga harus dipulihkan. Hal itu imbas dari kontroversi Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 tentang batas minimal usia capres-cawapres, di era kepemimpinan hakim konstitusi Anwar Usman.
"Ya makanya ujung dari semua masalah pemilu, pilpres, pilkada, sama aja itu, ujungnya kan nanti di MK. Makanya kita harus menjaga tingkat kepercayaan publik kepada MK. Ini harus dipulihkan," ucap Jimly, saat ditemui di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, pada Rabu (22/11/2023).
"Makanya itu yang harus kita jadi orientasi, bukan urusan pribadi-pribadi orang per orang yang sakit hati atau tersinggung. Enggak," sambungnya.
Lebih lanjut, Jimly mengatakan secara ilmu ketatanegaraan, MK juga memiliki fungsi legislator seperti parlemen.
Adapun ia menjelaskan, MK merupakan negative legislator, sedangkan parlemen atau DPR merupakan positif legislator.
"Itu MK kenapa disebut legislator oleh pendirinya, namanya Hans Kelsen. Parlemen itu legislator positif. MK itu negative legislator," jelasnya.
Sebelumnya, Dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) sekaligus Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyoroti Undang-Undang 7 Tahun 2017 menjadi yang paling banyak diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).
Titi mengatakan, hal ini menjadi tanda bahwa kini MK telah menjadi arena tarik-menarik kepentingan politik berbagai pihak.
"UU pemilu adalah UU yang paling banyak diuji selama Mahkamah Konstitusi berdiri. Bahkan, MK menjadi arena tarik menarik aspirasi atau kepentingan politik para pihak," kata Titi, dalam rapat kordinasi Kemenko Polhukam bertajuk 'Menjaga Stabilitas Politik Hukum dan Keamanan pada Tahapan Pemilu 2024', di Jakarta Pusat, pada Selasa (21/11/2023).
"Ada satu kelompok yang meminta syarat usia (capres-cawapres) diturunkan. Ada kelompok lain yang meminta ambang batas usia atas diberlakukan. Itu kan artinya pertarungan kepentingan politik dipindahkan ke MK," sambungnya.
Oleh karena itu, menurutnya, para hakim konstitusi harus mampu melakukan sikap menahan diri di tengah perkara-perkara yang berkaitan dengan aspek politik. Hal itu dilakukan, kata Titi, agar terciptanya stabilitas hukum pemilu.
"Maka kalau kita ingin stabilitas hukum pemilu, MK sebagai negarawan hakim-hakimnya mesti mampu melakukan judicial restraint atau sikap menahan diri. Di mana dia menangani perkara-perkara berkaitan dengan aspek politik untuk tidak terjerumus pada politisasi yudisial," kata Titi.
Selain itu, ia mengatakan, kemampuan menahan diri para hakim MK juga merupakan sebuah kebutuhan agar terhindar dari politisasi yudisial.
"Jadi satu sisi memang ada tuntutan yang besar pada MK untuk melakukan aktivisme judisial, melakukan terobosan. Tapi di saat yang sama, ini perkara yang kental dengan aroma politik, maka kemampuan menahan diri dari hakim-hakim MK juga sangat dibutuhkan supaya terhindar dari politisiasi yudisial," tuturnya.
Sebelumnya, Hakim Konstitusi Anwar Usman dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal tersebut ditegaskan dalam putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait laporan dugaan pelanggaran etik mengenai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
"Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan," ucap Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, dalam sidang di gedung MK, Selasa (7/11/2023).
"Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor," tegas Jimly.
Terkait hal itu, Jimly memerintahkan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra untuk dalam waktu 2x24 jam sejak Putusan tersebut selesai diucapkan, memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, Jimly menegaskan, Anwar Usman tidak boleh mencalonlan diri sebagai pimpinan MK hingga masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.
"Hakim Terlapor tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi sampai masa jabatan Hakim Terlapor sebagai Hakim Konstitusi berakhir," ucapnya.
"Hakim Terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan," sambung Jimly.