Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tiga Pakar Hukum Tata Negara Tanggapi Wacana Pemakzulan Jokowi Jelang Pilpres, Mungkinkah Dilakukan?

Zainal Arifin mengatakan, terdapat tiga alasan seorang presiden dapat dimakzulkan atau diberhentikan dari jabatannya.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Tiga Pakar Hukum Tata Negara Tanggapi Wacana Pemakzulan Jokowi Jelang Pilpres, Mungkinkah Dilakukan?
Kolase Tribunnews
Tiga pakar hukum tata negara: Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, dan Yusril Ihza Mahendra yang kini bergabung di TKN Prabowo-Gibran. 

Di sisi lain, yang membuatnya heran, Yusril mempertanyakan aspirasi soal pemakzulan itu justru disampaikan kepada Mahfud yang merupakan Menko Polhukam sekaligus kandidat pilpres. Kenapa bukan kepada DPR.

"Saya heran mengapa tokoh-tokoh yang ingin memakzulkan Presiden itu menyambangi Menko Polhukam, yang juga calon Wapres dalam Pilpres 2024. Seharusnya mereka menyambangi fraksi-fraksi DPR."

Jimly: Takut kalah?

Sementara, pakar hukum tata negara yang juga Anggota DPD RI Jimly Asshiddiqie mengaku heran dengan wacana pemakzulan Presiden Jokowi yang kembali ramai satu bulan menjelang pemungutan suara Pemilu 2024.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini menduga isu pemakzulan Jokowi untuk pengalihan perhatian atau karena pendukung pasangan calon capres-cawapres lain khawatir kalah.

"Aneh, 1 bulan ke pemilu kok ada ide pemakzulan presiden. Ini tidak mngkin, kecuali cuma pengalihan perhatian atau karena pendukung paslon, panik & takut kalah. Satu bulan ini, mana mungkin dicapai sikap resmi 2/3 anggota DPR & dapat dukungan 2/3 anggota MPR setelah dari MK. Mari fokus saja sukseskn pemilu," tulis akun media sosial X @jimlyAs seperti dikutip redaksi, Minggu (14/1).

3 Syarat Pemakzulan Presiden

Berita Rekomendasi

Zainal Arifin mengatakan, terdapat tiga alasan seorang presiden dapat dimakzulkan atau diberhentikan dari jabatannya.

Pertama, adalah presiden melakukan pelanggaran pidana, seperti suap, korupsi, penghianatan kepada negara, dan tindak pidana berat lainnya.

Selanjutnya, imbuh Zainal, presiden melakukan perbuatan tercela.

Zainal melihat frasa perbuatan cela diambil dari aturan hukum yang berlaku di Amerika Serikat, namun bedanya pemaknaan atas kejahatan itu di AS lebih spesifik daripada Indonesia.

“Misal skandal Bill Clinton dengan Lewinsky itu bukan karena hubungan seksual, tapi karena Clinton berbohong di bawah sumpah. Saya tidak tahu kalau di Indonesia perbuatan tercela diterjemahkannya seperti apa karena perdebatannya bisa panjang,” kata Zainal.

Terakhir adalah jika presiden tidak lagi memenuhi syarat untuk memimpin negara.

Pasal 7A UUD 1945 mengatur bahwa “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas