Perludem: Kinerja Demokrasi Indonesia Konsisten Menurun
Peringkat yang menurun ini disumbang oleh proses pemilu, pluralisme, dan kultur politik yang terjadi di Indonesia.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan kinerja demokrasi Indonesia konsisten menurun.
Berdasarkan data dari Democracy Index The Economist yang dikutip Titi, Indonesia masuk dalam rezim demokrasi cacat atau flawed democracy dari empat tipe yang ada—full democracy, flawed democracy, hybrid regimme, dan authoritarian regime.
Baca juga: Pengamat Politik Nilai Cawe-cawe Jokowi di Pilpres Terlalu Jauh: Ingin Menang, tapi Tak Demokrasi
“Peringkat kita 54 terakhir tahun 2022, dirilis tahun 2023, menurun dua peringkat,” kata Titi saat jadi narasumber Webinar Cawe-cawe Presiden dan Senjakala Demokrasi yang berlangsung daring, Minggu (28/1/2024).
Peringkat yang menurun ini disumbang oleh proses pemilu, pluralisme, dan kultur politik yang terjadi di Indonesia.
Baca juga: Ahmad Nurwakhid Harapkan Mantan Napiter Bisa Menerima Sistem Demokrasi Dan Pancasila
“Ternyata pemilu tetap saja menjadi penyumbang skor tertinggi yaitu proses pemilu dan pluralisme 7,92. Skor terendahnya itu adalah kultur politik atau political culture 4,38,” jelasnya.
Lebih lanjut, Titi juga membeberkan data Democrazy Report 2023 V-Dem yang di mana Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan rezim demokrasi elektoral.
Indonesia, sejak tahun 2012 mengalami penurunan demokrasi secara signifikan bersama dengan Afganistan, Bangladesh, Kamboja, Hong Kong, India, Myanmar, Filipina, dan Thailand.
“Kita posisinya sekarang di demokrasi elektoral. Selain terdapat pemilu multipartai untuk eksekutif yang dianggap relatif berlangsung bebas dan adil, juga masih tersedia derajat hak pilih yang memuaskan, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berserikat,” tuturnya.
Titi pun kembali menegaskan pemilu bukan hanya soal acara yang diselenggarakan lima tahun sekali. Demokrasi modern, lanjtnya, menempatkan pemilu bukan sekadar praktik reguler untuk sirkulasi elite politik.
Baca juga: Pernyataan Presiden Jokowi soal Keberpihakan Dinilai Merusak Demokrasi
Sehingga pemilu harus terselenggara berkala secara bebas dan adil sesuai asa dan prinsip pemilu demokratis.
Hal ini senafas dengan Pasal 22E ayat (1) dan (5) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setip lima tahun sekali oleh suatu komisi pemilihian umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.