Sivitas Akademika Kritik Jokowi, Yenny Wahid Sebut Guru Besar Alat Ukur Baik Buruk Demokrasi
Yenny menyatakan, suara guru besar wajib didengar karena berasal dari kalangan akademisi, yang notabene adalah barometer suhu demokrasi di Indonesia.
Editor: Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, MALANG - Dewan Penasihat Tim Pemenangan Nasional (TPN) Calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Yenny Wahid angkat bicara atas banyaknya guru besar atau sivitas akademika mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) serta buruknya situasi politik, menjelang Pemilu 2024, yang akan diselenggarakan 14 Februari 2024.
Para guru besar secara tegas mengungkapkan keprihatinannya terkait merosotnya kualitas demokrasi dan meminta Presiden Jokowi bersikap netral serta tidak mengintervensi proses Pemilu 2024 saat putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, ikut berkontestasi sebagai cawapres.
Yenny menyatakan, suara guru besar wajib didengar karena berasal dari kalangan akademisi, yang notabene adalah barometer suhu demokrasi di Indonesia.
"Mereka menjadi alat ukur, apakah Indonesia ini sedang baik-baik saja atau tidak. Ketika kampus bersuara, menyuarakan keprihatinan tentang penyelenggaraan Pemilu yang dianggap penuh kecurangan. Lalu, hal-hal yang bersifat etis banyak dilanggar. Nah, ini tentu menjadi keprihatinan kita," ujar putri Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Kota Malang, Provinsi Jawa Timur, sebagaimana keterangan pers, Selasa (6/2/2024).
Yenny yang juga Direktur Wahid Foundation ini menyebutkan, saat ini terjadi kemunduran kualitas demokrasi di negeri ini. Selain itu, perjuangan melawan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), pada zaman Orde Baru merupakan perjuangan yang sangat besar dan memakan banyak korban baik mahasiswa, aktivis HAM, aktivis kemanusiaan, aktivis demokrasi dan lainnya, menjadi sia-sia.
"Ini harus kita jaga, demokrasi ini adalah sebuah sistem yang telah kita pilih bersama dan berhasil diraih dengan pengorbanan yang tidak main-main," ucapnya.
Yenny menyatakan, pendapat rakyat tentang penyelenggaraan Pemilu yang jujur dan adil harus dijaga.
"Jadi, ketika akademisi bersuara, ya tentu bagi kita menjadi keprihatinan yang luar biasa. Dan, bagi kami makin menguatkan keinginan untuk berjuang, untuk menjaga demokrasi," jelasnya.
Baca juga: TKN Prabowo-Gibran Sebut Surat Suara di Malaysia Tercoblos Ganjar-Mahfud, Bakal Lapor Bawaslu
Yenny juga mengaku sedih atas tindakan aparat TNI dan Polri yang mengintimidasi rakyat terkait Pemilu. Yenny menyebut, aparat terpaksa melakukan intimidasi karena diintimidasi dan dipaksa atasannya melakukan itu.
"Jadi, permintaan kita jelas, tolonglah para aparat keamanan TNI dan Polri, jangan dihadapkan-hadapkan dengan rakyat. Berikan mereka kekuasaan untuk menjaga netralitas. Karena mereka adalah abdi negara, bukan abdi keluarga," katanya.
Aparat TNIdan Polri, lanjutnya, tidak boleh lagi dijadikan momok menakutkan di tengah masyarakat dan mengintimidasi rakyatnya sendiri.
"Tugas utama mereka adalah menjadi pelindung dan pengayom masyarakat. Jangan paksa mereka berhadapan dengan rakyat. Biarkan mereka bekerja secara profesional, baik aparat desa, aparat keamanan, TNI, Polri, ASN. Semuanya itu tetap mengabdi pada negara. Jangan paksa mereka untuk berhadap- hadapan dengan rakyat," kata Yenny. (Tribunnews/Yls)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.