TPN Ganjar-Mahfud Berani Buat Terobosan dalam Tangani Perselisihan Hasil Pemilu 2024
Dia menambahkan, ada contoh yang ditunjukkan MK di Austria, Kenya, dan Malawi yang berani membuat putusan tegas soal pemilu, dengan melihat pemilu
Editor: Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Deputi Hukum TPN calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Todung Mulya Lubis mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) untuk berani membuat terobosan hukum untuk mengadili Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pada Pemilu 2024.
Todung menyampaikan, ada wind of change atau angin perubahan di tubuh MK seiring dikeluarkannya tiga putusan terkait jadwal Pilkada Serentak 2024, independensi Jaksa Agung, dan ambang batas parlemen (parliamentary treshold).
"Saya melihat dari tiga putusan tersebut, MK telah kembali ke jati dirinya sebagai penjaga konstitusi, bukan menjadi kepanjangan tangan kekuasaan," kata Todung dalam konferensi pers di Jakarta, sebagaimana keterangan pers diterima Tribunnews, Selasa (5/3/2024).
Menurut Todung, independensi dan profesionalisme MK sebagai penjaga konstitusi sangat penting karena MK telah banyak disorot publik. Bahkan, hampir kehilangan kepercayaan dari rakyat pasca putusan nomor 90 yang memberi 'karpet merah' kepada Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres pada Pilpres 2024.
Todung menjelaskan, kembalinya MK pada jati dirinya akan teruji ketika MK menghadapi ujian lebih berat untuk mengadili sengketa pemilu.
"Saya menyampaikan ini, karena paslon 03 pasti akan mengajukan permohonan PHPU ke MK setelah selesai perhitungan manual yang dibuat KPU pada 20 Maret 2024. Dan saya hakul yakin paslon 01 juga akan mengajukan gugatan PHPU ke MK," ungkap Todung.
Masyarakat, kata dia, sangat membutuhkan MK yang independen, MK yang profesional dalam menjalankan fungsinya atau marwahnya dalam mengadili perselisihan hasil pemilu.
Sengketa Pilpres
Todung menyatakan pihaknya mengharapkan MK akan memeriksa permohonan sengketa Pilpres 2024 secara teliti dan seksama, profesional penuh dengan integritas, dan tidak hanya fokus pada perbedaan perolehan suara.
"Karena pemilu itu harus dilihat secara holistik, tidak parsial. Pemilu itu proses panjang dari pra pemilihan, pemilihan atau pencoblosan, dan pasca pencoblosan. Semua proses ini disebut sebagai Pemilu atau Pilpres," ujar Todung.
Baca juga: BREAKING NEWS: Diagram Perolehan Suara di Sirekap Mendadak Hilang, Begini Dalih KPU
Menurutnya, penyelenggaraan pemilu tidak bisa dikatakan hanya saat pencoblosan atau penghitungan suara. Justru berdasarkan hukum, proses justru lebih penting ketimbang hasil.
"Dengan demikian, pelanggaran dan kecurangan pemilu yang disebut terstruktur, sistematis, dan massif itu harus diteliti, harus dipelototi, dan dianalisa oleh MK," kata Todung.
Dia menambahkan, ada contoh yang ditunjukkan MK di Austria, Kenya, dan Malawi yang berani membuat putusan tegas soal pemilu, dengan melihat pemilu secara holistik, tidak parsial atau hanya melihat hasil perhitungan suara.
Hal itu, bisa diikuti oleh MK Indonesia dalam mengadili perselisihan pemilu tanpa mengabaikan keseluruhan tahapan atau prosesnya yang bermasalah.
Sebab, jika hanya melihat hasil perhitungan suara, maka proses sebelum pencoblosan bisa dianggap tidak bermasalah. Padahal, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) punya catatan sejumlah masalah sebelum hari pencoblosan hingga pasca-pencoblosan yakni ketika rekapitulasi suara dilakukan melalui Sirekap.
"Bawaslu saja mencatat banyak masalah apalagi kita sebagai paslon, parpol, dan civil society. Jadi apakah ini harus diputihkan dan dianggap yang perlu diselidiki hanya perolehan suara," tukasnya. (Tribunnews/Yls)